Oleh : Alifah Mahardika
“And you have broken every
promise that we made. And I have loved you anyway,”
Suara lembut Keira dan petikan dawai
gitar bergaung dalam tempurung kepalaku. Lagi-lagi kuloloskan satu tarikan
napas berat, entah sudah untuk keberapa kalinya. Pandangan lelaki itu hanya
terlempar sekilas padaku, lalu dilanjut menilik buku tebal di tangannya dengan
detail. Sesekali jemarinya bergerak di ujung halaman, membalik halaman yang
rampung dibaca. Namun, aku ragu dia benar-benar sedang mengeja kata demi kata
yang tercetak di sana. Aku yakin benaknya sendiri saat ini sedang melanglang ke
tempat yang antah berantah.
Tanganku terulur, dengan satu jari
menekan tombol pause. Laki-laki itu mendongak. Masih dengan buku yang
terbuka di tangan, dia berucap, “Kenapa dimatikan? Bukankah kau suka Keira
Knightley?”
Aku diam saja. Lantas kening lelaki
itu terangkat sekilas. “Gara-gara kau, aku jadi suka Keira Knightley juga,” dia
tersenyum, tipis sekali. “Kalau kau bosan dengan lagu tadi, akan kuputar lagu
Keira yang lain. Coming Up Roses, barangkali?” kemudian dia mulai
berkutat dengan daftar pemutar musik di komputer lipat miliknya.
Segurat kekecewaan tercetak di
wajahku. “Aku cuma ingin bicara sebentar, Ian.”
Dia mendengus. “Kalau mau bicara
tentang Andrika, lain kali saja.” kalimat yang baru saja dimuntahkan Ian bagai
peluru yang berdesing setelah pelatuk berhasil tertarik. Peluru itu melesat
membelah udara hingga akhirnya tepat mengenai sasaran. Ah, rupanya dia sudah
tahu. Aku selalu merasa seakan ia bisa membaca jelas pergulatan batin yang
hinggap di kepalaku.
Akantetapi, sayang sekali. Padahal
Andrika adalah topik yang memang sebaiknya, lebih baik, memang seharusnya,
bahkan wajib dibicarakan saat ini juga. Mengapa? Alasannya karena rasa bersalah
yang sampai kini masih membebankan kedua bahuku. Andai aku tahu, keputusanku memilih
Ian ternyata begitu melukai Andrika. Membuat dia memendam goresan demi goresan
sembilu yang kian hari kian bernanah. Hingga akhirnya Andrika raib dari
hidupku. Persahabatan kami yang kukira kekal, nyatanya hancur hanya karena suatu hal yang bahkan tak pernah
sekalipun terlintas dalam benakku. Tetapi, bukankah kekekalan memang sejatinya
hanya milik Tuhan?
“Ian, kita tidak bisa terus begini,”
dengan hati-hati, aku melirik Ian yang ada di sampingku. Yang ditanya hanya
bungkam. Tak ada tanda-tanda sepatah kata akan meluncur dari indra pencecap
lelaki itu. “Aku rasa, baiknya kita berteman saja.”
Barulah saat kata ‘berteman’
kusebut, Ian mengangkat pandangan. Dingin dan tajam.
“Berteman? Kau kira selama ini kita
tak berteman? Maksudku, kita kan memang cuma berteman,” ia memberikan
penekanan pada kata ‘cuma’ yang semakin memperjelas ketidaktegasanku terhadap
hubungan kami. “Coba saja hitung, sudah berapa kali aku nyatakan cinta. Sudah
berapa kali pula kau menampik perasaanku. Kau harus ingat itu baik-baik,
Seruni. Selain aku, lelaki mana lagi yang tabah jatuh cinta padamu dengan cara
demikian rupa?”
Ya. Tentang lelaki yang begitu tabah
jatuh cinta padaku, Ian benar. Namun bagiku, ia tidak sepenuhnya benar.
Menurutku, siapalah gadis yang tabah jatuh cinta pada dia dengan keadaan
demikian rupa? Sejujurnya, aku pun tidak.
***
Poni gadis itu berguncang seiring
gelengan kepalanya yang sedari tadi tak kunjung berhenti. Bibirnya melekuk
serupa bulan sabit, memperlihatkan ceruk kecil di masing-masing ujung
senyumannya. Aku hanya mengulum tawa memperhatikan rona merah yang perlahan memendar
di kedua pipi gadis itu. Benar-benar bukan dia yang biasanya. Sepertinya baru
kali ini aku mendapati dia tersipu begini. Jelas, aku turut bahagia sekaligus
geli melihat tingkah langka sahabat masa kecilku, Andrika.
Maka begitulah, hari itu senja yang temaram menemaniku menjadi saksi.
Gadis delapanbelas tahun di hadapanku baru saja menapaki fase baru dalam
kehidupan remaja. Orang-orang biasa menyebutnya “Cinta Pertama”.
“Seruni, kau harus bertemu dia.
Nanti akan aku kenalkan kalian berdua.” mata
Andrika berbinar-binar.
“Iya, tapi omong-omong tadi siapa
nama lelaki beruntung itu? Bambang?”
“Bambang? Namanya Bastian, Uni.”
bibir mungil Andrika mengerucut. Aku terkekeh, merasa puas telah berhasil
mengerjai Andrika.
“Menurutku dia lebih bagus dipanggil
Bambang,” sejurus kemudian sebuah bantal melayang ke arahku. Andrika sudah
bersiap dengan bantal berikutnya, tapi lekas-lekas aku mengangkat kedua tangan
lebih dahulu. “Hei, hentikan. Baiklah, namanya Bastian. Bas-tian. Oke?” Andrika
menyuguhkan senyum itu lagi. Senyum yang aku tidak begitu yakin kapan tepatnya
terakhir kali aku tersenyum seperti itu juga.
“Uni, Sabtu besok kami akan pergi ke
alun-alun kota. Aku ingin kau ikut juga. Kau... tidak ada acara kan?”
“Aku? Ikut kencan pertamamu dengan
pacar pertamamu? Tidak, terimakasih.” aku tersenyum masam.
“Kau harus ikut atau kau akan melewatkan kesempatan berkenalan
dengan cowok tampan sepupu Bastian yang tinggal di Jogja.”
“Kau tahu dari mana kalau cowok itu
tampan? Apa kau sudah bertemu langsung?”
“Yah, karena mereka masih
bersaudara, kurasa paling tidak dia mirip Bastian. Tapi aku berani bertaruh,
Bastian lebih tampan daripada sepupunya.”
Sepersekian detik berikutnya,
giliran sebuah bantal yang melayang dan mendarat tepat di wajah Andrika. Dia
terkesiap, tetapi tidak berniat membalas. Dia hanya tertawa.
“Aku serius, Uni. Datanglah. Aku mau
kau ikut, kumohon lakukanlah karena aku sahabatmu dan kau sahabatku.”
Aku mengedik. “Apa boleh buat. Akan
kulakukan karena kita bersahabat.” senyum mengembang di masing-masing wajah
kami. Kurasa, saat itu adalah terakhir kali Andrika mengakuiku sebagai
sahabatnya.
Jadi, Sabtu kala itu aku datang.
Menemani Andrika yang sudah tampil elok dengan gaun berwarna pastel selutut.
Rambutnya dia biarkan tergerai di punggung. Sesekali angin September menerbangkan
beberapa helai rambutnya hingga menutupi sebagian paras ayu Andrika. Sabtu itu
pula yang menjadi kali pertama aku bertemu Bastian. Bagiku, tak ada yang
istimewa dari Bastian. Dia memang tampan dan terlihat sangat serasi bersanding
dengan Andrika yang cantik. Bastian orang yang baik dan humoris. Selebihnya dia
biasa saja di mataku.
Seharusnya aku merasa ada yang
janggal di antara kami—aku, Andrika, dan Bastian. Saat aku selalu ada di tiap
pertemuan-pertemuan mereka berikutnya serta saat Andrika bercerita Bastian
selalu berkata ‘Sebaiknya kita ajak Seruni juga.’ dengan sorot mata cerah pada
Andrika. Seharusnya Andrika juga tahu, bukannya malah mengiakan segala ucapan
yang meluncur ringan dari bibir lelaki itu. Seharusnya.
Akantetapi, semua sudah terlambat.
Hingga akhirnya, pada senja yang
mulai menghitam di atas tebing itu, senja dengan udara lembab berlesatan ke
sana kemari itu, aku menatap punggung Andrika dalam sunyi. Bahu gadis itu
bergetar, seperti tengah membendung muara dari sesuatu yang semakin menyesakkan
di dadanya.
“Katakan sejujurnya, Ian. Sejak
kapan semua ini terjadi?” tak lama mata Andrika mulai memerah dengan buliran
air yang tak kunjung reda. Tak ada satu pun dari kami yang bersuara. Hanya ada
berisik ombak yang berdebur menghantam karang.
“Maafkan aku, Andrika. Sudah lama
aku mencintai Seruni,” sepasang manik mata Ian jatuh padaku. “Aku ingin
melakukan apa saja agar Seruni bisa menjadi milikku.”
“Mustahil, Ian. Aku—“ kutelan ludah
yang mendadak terasa getir.
“Apa karena Andrika?” rahang Ian
mengeras. Kemudian langkah kakinya berderap mendekati Andrika yang sedang
berjuang sendirian menahan sesenggukan di ujung tebing. Sungguh, kejadian yang
terjadi selanjutnya tak pernah sekalipun terlintas di pikiranku. Lengan-lengan
kokoh Ian terulur ke arah Andrika. Dengan satu sentakan, tubuh ringkih Andrika
menghempas udara. Seperti sehelai daun kering yang di terbangkan angin, tubuh
Andrika menggelabur ke lautan.
Dadaku gegap menegang. Ingin rasanya
aku menghambur ke bibir tebing. Untuk memastikan bahwa Andrika masih bertahan
sekalipun ombak berkali-kali menghempaskan tubuh mungilnya pada karang-karang
yang tajam. Namun, aku hanya mematung.
Lewat senja yang meremang, sepasang
mata itu berkilat menatapku. “Kau tak lagi punya alasan untuk berkata tidak,
Seruni.”[]
Hola! Namaku Alifah
Mahardika. Lahir di Malang, bulan Februari tujuhbelas tahun yang lalu. Sekarang
sedang belajar di salah satu kelas di SMA Negeri 1 Kepanjen, tepatnya kelas
XII-5 prodi Matematika dan Ilmu Alam. Hobi menulis, doodling, baca
karya fiksi, nonton Drama Korea dan desain kostum acara modeling di
sekolah. Penyuka segala hal beraroma vanila, especially es krim plain
vanilla dan jatuh cinta sama hal-hal berbau petualangan. Aku penulis yang
masih hijau di dunia kepenulisan, jadi mohon kritik dan sarannya J
Contact :
Facebook : Alifah Mahardika (Dicha)
blog : punyadicha.blogspot.com
twitter : @alifahmahar
Komentar
Posting Komentar