Ditulis Kembali Satu Tahun Setelah Kepergian

27 Oktober 2017
                   “Bisa kita bertemu dan membicarakan hal ini?”
            “Kita selesaikan saja di sini.” Suara di ujung telepon terdengar begitu dingin, bahkan sepertinya mengalahkan dingin angin yang berembus di luar jendela malam ini. Mendadak dadaku dipenuhi perasaan asing yang menyesakkan.
            “Aku tak bisa melanjutkan hubungan kita. Baiknya kita usai saja di sini. Maaf.”
            Hening sejenak. Aku berusaha menghimpun kesadaran dan meyakinkan diriku bahwa suara di ujung telepon ini milik lelaki yang enam bulan lalu menyatakan perasaannya padaku. Lelaki yang pernah berujar bahwa tak apa bila hatiku masih porak-poranda akibat seseorang yang meninggalkanku di masa lalu, sebab ia akan tetap menerimaku beserta luka-lukaku dan bersedia memeluk erat serpihan-serpihan hatiku hingga kembali utuh. Ia bilang, ia akan membantu merapikan kembali hatiku. Ia berjanji tidak akan pergi, karena ia tak ingin mengulang kebodohan lelaki yang telah menyiakanku itu.
            “Apakah kita tidak bisa memperbaiki segalanya dan memulai lagi?” Suaraku nyaris tercekat. Dadaku berdesir menunggu jawaban darinya.
            “Tidak. Aku merasa perasaanku padamu tak lagi seperti dulu.”
            Hatiku mencelus. Aku kehilangan kata-kata. Semudah itukah sebuah perasaan dapat berubah?
            “Kelau begitu, tak ada lagi yang bisa kulakukan untukmu. Kuharap kau menjaga dirimu baik-baik.”  Aku berusaha membuat suaraku tak bergetar. Kuloloskan satu tarikan napas, susah payah kubendung air mata yang hendak tumpah.
            “Maaf untuk setiap kesalahan yang pernah kulakukan. Terima kasih telah menemukanku. Terima kasih kau pernah mau.”

            Telepon terputus, tak lama berselang kudapati hujan di pelupuk mataku. Kau tahu, rasanya lelaki itu seakan baru saja menorehkan luka baru di atas luka lamaku yang mulai mengering. Kini, luka itu kembali mendesirkan darah.

Segalanya banyak berubah setahun kemudian, di suatu sore ketika aku duduk di depan laptopku, tepat seusai hujan bertandang di halaman. Luka itu masih bersarang di sudut hati, tapi aku dan hidupku baik saja. Kadang aku bahkan lupa apakah lelaki itu masih tinggal di bumi yang sama denganku, atau ia sebenarnya telah pindah ke galaksi lain bersama kekasih barunya. Sebenarnya, bagaimanapun aku juga tak lagi peduli.

Akantetapi, aku tahu, ada yang belum usai dari kisah kami yang terpenggal di tengah kalimat.
Apakah dia juga merasa begitu?

Komentar