Debar kerinduan di dada adalah
satu-satunya keriuhan dalam malam yang senyap. Bahkan angin yang lewat saja
enggan berbisik minta permisi. Ikan-ikan dalam kolam seperti menjelma batu,
diam. Sampai hujan mendadak bertandang dan segalanya jadi lengkap. Maksudku,
sesak di dada ini. Serasa makin sempurna perihnya.
Kata buku yang kubaca, “Satu-satu
pintu memang telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.” aku
mendengus. Dalam hati bertanya, sebenarnya buku apa yang sedang kubaca?
Sepertinya tadi aku asal saja mencomot buku dari tumpukan. Dan seingatku, aku
bukan tipe pembaca buku melankolis begini. Tapi, ya, syukurlah masih ada yang
sudi menjadi teman berbagi nasib denganku malam ini.
Buku itu melanjutkan, “Dialah lelaki
yang pernah menjadi udara dalam ruang-ruang hatiku...” kau tahu—sialnya—wajah lelaki
itu beserta senyum asimetrisnya yang mencuat pertama kali dalam benakku.
Disusul suara seraknya yang menyusup di antara desis hujan. Lalu ikut pula
tangannya yang besar dan hangat, yang dulu sempat menuntunku menuju
tempat-tempat indah. Aneh, samar-samar aroma tubuhnya seperti menguar dari
lembaran-lembaran buku yang tengah kubaca. Duh, sudah, sudah!
Kututup buku tanpa memberi tanda.
Serampangan, kulempar buku tadi. Buk! Dari ekor mata kulihat buku itu
mendarat mulus di sudut ruangan. Biar sudah, biar dia menanggung sepi sendiri.
Toh, berbagi sepi dengannya juga tak membuatku merasa lebih baik. Entahlah,
buku apa itu. Namun, membaca barang beberapa lembar saja perasaanku sudah
sukses dibikin semrawut. Mungkin semacam buku sihir pemanggil kenangan. Lantas,
apa gunanya buku semacam itu dalam keadaan gundah gulana macam ini?
Akantetapi, kalau dipikir ulang,
sebenarnya apalagi yang kubutuhkan saat ini selain pertemuan singkat dengan
pemilik mata cokelat kayu itu? Yah, barangkali jika bersua dengannya adalah hal
yang mustahil bagiku, setidaknya sebuah sapa dari lelaki itu sudah cukup
menjadi penawar rinduku yang kian meradang. Walaupun jelas, akan jadi jauh
lebih hambar dari sapa-sapanya yang lalu.
Ada sesal yang bersarang dalam
relung hati. Kian hari beranak-pinak, hingga kini berjejal di dada dan sering
kali memaksa untuk dibebaskan. Susah payah kubendung, tak jarang air mata yang
jadi tebusannya. Aku tak pernah mengira
perpisahan jadi terasa mudah setelah sekian lama aku dan dia menoreh cerita.
Tidak, barangkali mudah bagi dia, tapi aku? Tak perlu bertanya lebih jauh, kau
pasti bisa mengira jawabnya.
Kuraih ponsel di atas meja. Nyaris
saja aku melempar ponselku jauh-jauh ketika kudapati fotoku terpampang di layar
depan. Bukan, itu bukan foto biasa sebab saat itu sebelah tanganku sedang
bertaut dengan tangan yang tidak lain adalah—aku berharap itu bukan—tangan lelaki
itu. Baiklah, ini jelas ulah Annisa yang pagi tadi sempat mampir kemari.
Awas saja kalau Si Semprul itu datang lagi, akan ku cubit habis-habisan hidung
bangir ala Timur Tengahnya.
“Ini sudah 2015, Neng geulis.”
“Iya, tahu.”
“Ya kali belum sadar juga. Terus
kapan mau kenalin teman cowokmu?”
Aku memberengut. Dasar anak ini.
“Bisa tidak, pakai basa-basi dulu kalau mau ngomongin perihal sensitif begitu?”
yang ditegur malah tergelak, dikiranya aku pemain Lenong. “Tahun kemarin juga
kamu tanya begitu kan, ‘Sudah 2014, kapan move on?’”
Annisa menjentikkan jari, “Nah, itu
paham. Pinter kamu.”
“Ya nanti, yang terbaik kan tidak
datang sembarangan.”
Lagi-lagi salah satu kutipan buku
yang sempat kubaca menggaung dalam tempurung kepalaku : Bagaimana kita bisa
berharap mendapatkan yang lebih baik, jika kita telah mendapatkan yang terbaik?
Kalau lelaki itu adalah seseorang
yang terbaik bagiku, bahkan tetap begitu sampai peringatan hari jadi kami yang
kelima tahun, lantas adakah yang bisa menandingi kata ‘terbaik’ agar nanti bisa
kusematkan pada laki-laki beruntung pengganti dia? ‘Lebih terbaik’ kah? Atau
‘terbaik kuadrat’?
Kuloloskan satu tarikan napas,
tiba-tiba saja merasa lelah memikirkan tentang lelaki itu, juga tentang
perasaanku sendiri. Kemudian kusumpal kedua lubang telinga dengan earphone,
sebuah ketukan di layar ponsel mengantarkanku pada alunan lagu pertama.
Hello,
it's me
I
was wondering if after all these years you'd like to meet
Ya, aku berharap. Seandainya saja
pertemuan kami nyata. Bukan sebatas bayang semu dalam malam berkabut yang kerap
muncul di tiap bunga tidurku.
They
say that time's supposed to heal ya, but I ain't done much healing
Semua masih sama, asal ia tahu. Nganga
luka itu, perasaan cinta itu.
I'm
in California dreaming about who we used to be
Bahkan jika aku tak bisa memutar
kembali waktu, bolehkah aku meminta ia kembali?
There's
such a difference between us
And
a million miles
Ah,
benar. Dia sendiri yang berucap. Justru karena kami berbeda, maka sebaiknya kami
menyusuri setapak kami masing-masing. Sekalipun pada hari itu di persimpangan,
tepat sebelum langkah pertama kami berayun menjauh aku mengutarakan niatku
untuk mengikutinya. Tetapi sayang, dia bilang semua cukup saja sampai di sini,
semua usai. Lalu dia beranjak hingga punggungnya kian mengecil sebelum akhirnya
lenyap pada titik terjauh jarak pandangku.
Meskipun
kami berjalan di setapak berbeda dan di bawah naungan langit berbintang yang
sama, tapi aku ragu mata kami akan menunjuk garis bintang yang sama. Bila
begitu jadinya, mungkinkah kami bertemu pada ujung persimpangan yang lain?
Getar
ponsel membuyarkan lamunanku. Ternyata ada pesan yang datangnya dari sebuah
nomor yang sudah lama tersimpan dalam ingatanku. Ujung-ujung bibirku menarik
simpul, tapi lekas-lekas sirna ketika kubayangkan Annisa juga berada di sini,
turut membaca pesan bersamaku. Kubayangkan Annisa akan meraih ponselku, menekan
power button, kemudian menyimpan ponselku dalam tas jinjingnya. Annisa
memang berlebihan. Padahal lelaki itu cuma meminta tolong dibuatkan sebait
puisi sebagai hadiah untuk kekasih tercintanya—seperti yang sudah-sudah.
Sebagai
seorang teman yang baik dan seorang yang diam-diam menyayanginya, tentu saja
aku akan membantu lelaki itu. Jadi, kuambil secarik kertas dan sebuah pena. Di
antara larik-larik puisi yang kutulis aku merasa nganga luka itu kembali
mendesirkan darah.
can you make a short story about ghost or science fiction ?
BalasHapusi ever made one. but i haven't posted it here, yet. i'll send u the link soon. thank u for reading! ��
Hapus-cha
Whoaaaa niceee. Hope you can make a new story again but dont ever forget with your assignment in college. Good luck! 💝
BalasHapus