“Memanggil Kenangan”


Oleh : Alifah Mahardika

            Debar kerinduan di dada adalah satu-satunya keriuhan dalam malam yang senyap. Bahkan angin yang lewat saja enggan berbisik minta permisi. Ikan-ikan dalam kolam seperti menjelma batu, diam. Sampai hujan mendadak bertandang dan segalanya jadi lengkap. Maksudku, sesak di dada ini. Serasa makin sempurna perihnya.
            Kata buku yang kubaca, “Satu-satu pintu memang telah ditutupnya walaupun cinta tentu saja tak pernah mati.” aku mendengus. Dalam hati bertanya, sebenarnya buku apa yang sedang kubaca? Sepertinya tadi aku asal saja mencomot buku dari tumpukan. Dan seingatku, aku bukan tipe pembaca buku melankolis begini. Tapi, ya, syukurlah masih ada yang sudi menjadi teman berbagi nasib denganku malam ini.
            Buku itu melanjutkan, “Dialah lelaki yang pernah menjadi udara dalam ruang-ruang hatiku...” kau tahu—sialnya—wajah lelaki itu beserta senyum asimetrisnya yang mencuat pertama kali dalam benakku. Disusul suara seraknya yang menyusup di antara desis hujan. Lalu ikut pula tangannya yang besar dan hangat, yang dulu sempat menuntunku menuju tempat-tempat indah. Aneh, samar-samar aroma tubuhnya seperti menguar dari lembaran-lembaran buku yang tengah kubaca. Duh, sudah, sudah!
            Kututup buku tanpa memberi tanda. Serampangan, kulempar buku tadi. Buk! Dari ekor mata kulihat buku itu mendarat mulus di sudut ruangan. Biar sudah, biar dia menanggung sepi sendiri. Toh, berbagi sepi dengannya juga tak membuatku merasa lebih baik. Entahlah, buku apa itu. Namun, membaca barang beberapa lembar saja perasaanku sudah sukses dibikin semrawut. Mungkin semacam buku sihir pemanggil kenangan. Lantas, apa gunanya buku semacam itu dalam keadaan gundah gulana macam ini?
            Akantetapi, kalau dipikir ulang, sebenarnya apalagi yang kubutuhkan saat ini selain pertemuan singkat dengan pemilik mata cokelat kayu itu? Yah, barangkali jika bersua dengannya adalah hal yang mustahil bagiku, setidaknya sebuah sapa dari lelaki itu sudah cukup menjadi penawar rinduku yang kian meradang. Walaupun jelas, akan jadi jauh lebih hambar dari sapa-sapanya yang lalu.
            Ada sesal yang bersarang dalam relung hati. Kian hari beranak-pinak, hingga kini berjejal di dada dan sering kali memaksa untuk dibebaskan. Susah payah kubendung, tak jarang air mata yang jadi tebusannya.  Aku tak pernah mengira perpisahan jadi terasa mudah setelah sekian lama aku dan dia menoreh cerita. Tidak, barangkali mudah bagi dia, tapi aku? Tak perlu bertanya lebih jauh, kau pasti bisa mengira jawabnya.
            Kuraih ponsel di atas meja. Nyaris saja aku melempar ponselku jauh-jauh ketika kudapati fotoku terpampang di layar depan. Bukan, itu bukan foto biasa sebab saat itu sebelah tanganku sedang bertaut dengan tangan yang tidak lain adalah—aku berharap itu bukan—tangan lelaki itu. Baiklah, ini jelas ulah Annisa yang pagi tadi sempat mampir kemari. Awas saja kalau Si Semprul itu datang lagi, akan ku cubit habis-habisan hidung bangir ala Timur Tengahnya.
            “Ini sudah 2015, Neng geulis.”
            “Iya, tahu.”
            “Ya kali belum sadar juga. Terus kapan mau kenalin teman cowokmu?”
            Aku memberengut. Dasar anak ini. “Bisa tidak, pakai basa-basi dulu kalau mau ngomongin perihal sensitif begitu?” yang ditegur malah tergelak, dikiranya aku pemain Lenong. “Tahun kemarin juga kamu tanya begitu kan, ‘Sudah 2014, kapan move on?’”
            Annisa menjentikkan jari, “Nah, itu paham. Pinter kamu.”
            “Ya nanti, yang terbaik kan tidak datang sembarangan.”
            Lagi-lagi salah satu kutipan buku yang sempat kubaca menggaung dalam tempurung kepalaku : Bagaimana kita bisa berharap mendapatkan yang lebih baik, jika kita telah mendapatkan yang terbaik?
            Kalau lelaki itu adalah seseorang yang terbaik bagiku, bahkan tetap begitu sampai peringatan hari jadi kami yang kelima tahun, lantas adakah yang bisa menandingi kata ‘terbaik’ agar nanti bisa kusematkan pada laki-laki beruntung pengganti dia? ‘Lebih terbaik’ kah? Atau ‘terbaik kuadrat’?
            Kuloloskan satu tarikan napas, tiba-tiba saja merasa lelah memikirkan tentang lelaki itu, juga tentang perasaanku sendiri. Kemudian kusumpal kedua lubang telinga dengan earphone, sebuah ketukan di layar ponsel mengantarkanku pada alunan lagu pertama.
Hello, it's me
I was wondering if after all these years you'd like to meet
            Ya, aku berharap. Seandainya saja pertemuan kami nyata. Bukan sebatas bayang semu dalam malam berkabut yang kerap muncul di tiap bunga tidurku.
They say that time's supposed to heal ya, but I ain't done much healing
            Semua masih sama, asal ia tahu. Nganga luka itu, perasaan cinta itu.
I'm in California dreaming about who we used to be
            Bahkan jika aku tak bisa memutar kembali waktu, bolehkah aku meminta ia kembali?
There's such a difference between us
And a million miles
Ah, benar. Dia sendiri yang berucap. Justru karena kami berbeda, maka sebaiknya kami menyusuri setapak kami masing-masing. Sekalipun pada hari itu di persimpangan, tepat sebelum langkah pertama kami berayun menjauh aku mengutarakan niatku untuk mengikutinya. Tetapi sayang, dia bilang semua cukup saja sampai di sini, semua usai. Lalu dia beranjak hingga punggungnya kian mengecil sebelum akhirnya lenyap pada titik terjauh jarak pandangku.
Meskipun kami berjalan di setapak berbeda dan di bawah naungan langit berbintang yang sama, tapi aku ragu mata kami akan menunjuk garis bintang yang sama. Bila begitu jadinya, mungkinkah kami bertemu pada ujung persimpangan yang lain?
Getar ponsel membuyarkan lamunanku. Ternyata ada pesan yang datangnya dari sebuah nomor yang sudah lama tersimpan dalam ingatanku. Ujung-ujung bibirku menarik simpul, tapi lekas-lekas sirna ketika kubayangkan Annisa juga berada di sini, turut membaca pesan bersamaku. Kubayangkan Annisa akan meraih ponselku, menekan power button­, kemudian menyimpan ponselku dalam tas jinjingnya. Annisa memang berlebihan. Padahal lelaki itu cuma meminta tolong dibuatkan sebait puisi sebagai hadiah untuk kekasih tercintanya—seperti yang sudah-sudah.
Sebagai seorang teman yang baik dan seorang yang diam-diam menyayanginya, tentu saja aku akan membantu lelaki itu. Jadi, kuambil secarik kertas dan sebuah pena. Di antara larik-larik puisi yang kutulis aku merasa nganga luka itu kembali mendesirkan darah.
Description: snapshot-1952.jpg
Hola! Namaku Alifah Mahardika. Lahir di Malang, 17 Februari tujuhbelas tahun yang lalu. Sekarang sedang belajar di salah satu kelas di SMA Negeri 1 Kepanjen, tepatnya kelas XII-5 prodi Matematika dan Ilmu Alam. Hobi menulis, doodling, baca karya fiksi, nonton Drama Korea dan desain kostum acara modeling di sekolah. Penyuka segala hal beraroma vanila, especially es krim plain vanilla dan jatuh cinta sama hal-hal berbau petualangan. Aku penulis yang masih hijau di dunia kepenulisan, jadi mohon kritik dan sarannya J
Selamat membaca, selamat terhanyut, semoga suka ♥
Contact :
Facebook         : Alifah Mahardika (Dicha)
                         https://www.facebook.com/dicha.chaemb
e-mail               : punyadicha@gmail.com
blog                  : punyadicha.blogspot.com
twitter               : @alifahmahar

Komentar

  1. can you make a short story about ghost or science fiction ?

    BalasHapus
    Balasan
    1. i ever made one. but i haven't posted it here, yet. i'll send u the link soon. thank u for reading! ��

      -cha

      Hapus
  2. Whoaaaa niceee. Hope you can make a new story again but dont ever forget with your assignment in college. Good luck! 💝

    BalasHapus

Posting Komentar