Tentang Kamu

Confetti, 2101 hari setelah pertemuan.
            Sore itu, entah angin apa yang mengantar langkahmu menembus gerimis, melewati genangan sisa hujan sepanjang siang tadi, hingga sepasang kakimu berhenti di depan pintu Confetti. Kau mengesah, mendadak kau merasa tak dapat memahami dirimu sendiri. Kau ingin mengayun kaki-kakimu kembali pulang, tapi pada akhirnya kau memilih pasrah. Kau tetap masuk ke kedai es krim itu dan memilih meja di sudut. Kau selalu suka meja di sudut kedai, sebab kau merasa memiliki kesamaan dengan meja itu. Seperti susunan kursi di sebuah kedai, kau mengumpamakan dirimu sebagai kursi paling sudut. Hanya seseorang dengan alasan pasti yang akan menempati.
            Sudah  sepuluh menit berlalu sejak pramusaji meletakkan daftar menu di atas mejamu. Kau masih bergeming. Tatapmu menerawang jendela kedai, jatuh pada kerlip lampu-lampu kendaraan di jalanan. Confetti begitu sepi, hanya ada kau dan sepasang kekasih di meja dekat jendela. Mungkin, sebab ini adalah musim penghujan sehingga orang-orang jauh lebih memilih duduk nyaman di sebuah kedai kopi berteman secangkir kopi panas, lantas menenggelamkan diri mereka dalam hangat aroma kopi yang pekat. Dalam keadaan normal, kau akan merasa biasa saja. Tetapi hari itu, seseorang telah mematahkan hatimu dan kau merasa sepi menjadi berkali lipat menyakitkan dari seharusnya. Rasanya, kau seakan bisa mati sesak karena sepi membuat udara di sekitarmu jadi beku.
            Sekian menit berlalu, akhirnya kau memilih asal saja es krim yang hendak kau pesan. Tanpa kau sadari es krim yang kau pesan adalah es krim yang juga pernah kau pesan enam bulan lalu saat kali pertama kau bertandang ke tempat ini bersama si pematah hatimu. Jadi, begitu pramusaji datang mengantar pesananmu alih-alih kau menggelar senyum dan mengucap terima kasih, kau malah merasa semakin hancur.
            “Biar kubantu menata kembali hatimu.” Begitu kira-kira ujar mantan kekasihmu enam bulan lalu saat kau mengaku belum sanggup mengobati lukamu karena cinta yang lampau.
            Omong kosong!
            Kau menatap nanar ke arah es krim yang mulai lumer di hadapanmu. Kau meraih sendok dan mulai menyuap es krim hingga mulutmu penuh. Ah, gigimu mendadak ngilu. Namun, kau tahu benar hatimu jauh lebih sakit lagi. Hatimu memar, berdarah dan kau tak tahu harus berbuat apa untuk membuat keadaan hatimu menjadi lebih baik.
            Kau meremas ujung kemeja flanelmu yang setengah basah terkena gerimis, lantas kau gigit bibir bawahmu. Sia-sia saja. Sekuat apapun kau menahannya, bulir-bulir air di pelupuk matamu akhirnya tumpah jua. Kau usap air mata di pipimu. Diam-diam kau berharap menghapus kenangan tentang Raga—mantan kekasihmu—semudah kau menghapus air mata. Namun, kau sadar semua takkan sesederhana itu. Sama halnya seperti kau yang gagal menyembunyikan hujan di matamu, sore itu kau tak mampu menyimpan luka di hatimu untukmu sendiri.
            Di antara gema kucuran hujan yang kian menderas dan langkah-langkah yang tergesa di luar kedai, sekonyong-konyong kau menemukan dirimu merindukan seseorang. Kau bayangkan kini ia tengah berbahagia dengan kehidupan barunya. Kau yakin betul ini keliru. Tak semestinya kau merindukan seorang pria yang telah dimiliki wanita lain.
1708 hari setelah pertemuan.
            Hari itu, kau tengah duduk dalam mobil sahabatmu. Pandanganmu menyapu jalanan di luar kaca mobil. Kau berencana menghabiskan akhir pekan bersama sahabat-sahabatmu. Mereka bilang, kau terlalu lama meratapi kesendirianmu sampai-sampai saban hari kau terlihat muram. Ah, mereka memang kadang bisa jadi terlalu berlebihan. Padahal, kau cuma sedang tak ingin membuka hati untuk orang baru sejak kau memutuskan pergi dari lelaki itu. Kau menikmati hidupmu, merasa bahagia, meski belum tergenapi. Namun, kau jadi ragu. Apa benar selama ini ada mendung yang menggelayut di wajahmu?
            Getar ponsel membuyarkan lamunanmu. Kau dapati sebuah pesan baru di sana dari sebuah nomor asing.
            Hai, Fafa. Apa kabar?
      Meskipun orang itu menyebut  namamu, kau memilih abai. Pikirmu, kau akan membalasnya nanti setibamu di indekosmu. Tetapi, pesan selanjutnya yang datang ke ponselmu sukses membuat jantungmu nyaris melompat dari tempatnya.
            Ini aku, Azzam. Kamu masih mengingatku kan?
            Azzam. Lelaki yang beberapa menit lalu sempat melintas di pikiranmu. Lelaki yang hampir satu tahun ini membuatmu berusaha mati-matian untuk melupakannya. Lelaki yang menjadi alasan kau menutup pintu hatimu sebab kau masih takut untuk jatuh cinta dan kembali percaya. Kau mendengus gusar. Mengapa lelaki itu harus kembali saat kau telah menarik paksa hatimu agar menjauh dari bayang-bayangnya?
            Kau masih menimbang-nimbang bagaimana kau harus membalas pesan lelaki itu. Karena kau sudah terlanjur mengetahui siapa pengirim pesan tersebut, sepertinya usahamu untuk abai akan gagal total. Akhirnya, kau jentikkan jarimu di atas keyboard dan memencet tombol kirim. Hatimu berdenyar, entah mengapa ada harapan yang meletup di sana.
            Beberapa menit berselang, pesan baru menghampiri ponselmu.
            Ada yang ingin kubicarakan denganmu. Bisa kita bertemu?
            Ujung-ujung bibirmu menarik simpul, tapi senyummu lekas-lekas sirna. Kau menggeleng lemah. Ini pernah terjadi sebelumnya, kau membiarkan lelaki itu masuk kembali ke kehidupanmu untuk sekedar mampir lantas pergi meninggalkan jejak berupa luka.
Dia datang untuk kemudian pergi lagi, karena memang seperti itulah siklusnya. Suatu kali dia datang, membuatmu terkejut, membuatmu membangun benteng pertahanan agar hatimu tak kembali jatuh ke sepasang mata teduhnya lantas membuatmu merobohkan benteng yang susah payah kau bangun itu sebab kau rasa sia-sia saja kau membangunnya. Pada akhirnya, dia tak pernah gagal membuatmu jatuh hati. Tetapi sejak awal hatimu memang sudah jatuh padanya dan hal itu tidak pernah berubah meskipun telah tak terhitung berapa banyak lebam biru yang ia tinggalkan di dinding hatimu.
Begitulah. Tiga hari selepas percakapanmu dengannya di ponsel, lelaki itu datang ke indekosmu. Lalu kalian pergi ke sebuah rumah makan yang menawarkan nuansa alam. Kau tak menolak, walau ada bagian dari dirimu yang merasa takut. Namun, kali ini kau telah mempersiapkan hatimu untuk menerima luka.
“Zam, kamu bilang ada yang ingin kamu bicarakan denganku.” Jemarimu sibuk memainkan sedotan, berharap debar di dadamu berangsur tenang.
“Fa, kamu tahu, satu tahun ini tak ada satu perempuan pun yang kudekati.” Dia hanya berujar begitu, tapi kau sudah paham arah percakapan ini.
“Kenapa dari sekian banyak perempuan yang pernah istimewa bagimu, kamu malah memilih aku? Padahal kamu juga tahu, sudah sejak lama aku menyerah memperjuangkanmu, Zam.” Kau mengesah. “Baiklah, aku memang pernah menghabiskan tiga tahunku untuk menunggumu. Tetapi, kamu bilang baiknya kita menjadi teman yang saling mendoakan. Aku tahu kamu orang baik, Zam. Jadi aku tidak mau salah mengartikan semua kebaikanmu padaku.”
“Kamu keliru, Fa. Maksudku, aku pernah salah sudah melewatkanmu. Harusnya aku mencegahmu pergi. Aku menyesal karena terlambat mencarimu. Aku juga menyesal karena aku baru menyadari kalau kamulah yang aku mau, kamu yang aku butuhkan, Fa. Kamu.” Tatap lelaki itu bertaut dengan tatapmu. Ada keraguan dalam batinmu. Tetapi kau selalu percaya, setiap orang berhak mendapat kesempatan. Kau pikir, akan selalu ada kesempatan untuk seseorang yang mendiami dasar hatimu. Tak peduli sudah berapa kali orang itu menoreh luka.
Hari itu kau sadar, Azzam selalu jadi lelaki yang namanya tak pernah luput kau rapal dalam doa sejak kau menyadari perasaanmu padanya beberapa tahun silam. Lelaki yang kau kira akan menggenapi separuh bahagiamu. Lelaki yang memiliki arti penting dalam hidupmu. Akhirnya kau memutuskan mempercayakan hatimu kembali pada lelaki itu.
26 Januari 2012
            Senja melindap dan kepak-kepak burung mengantar mentari kembali ke peraduan. Dari tempatmu duduk, kau menangkap sepasang mata cokelat milik seorang lelaki yang kini tengah berdiri di hadapanmu. Di tangannya ada selembar kertas kusut, tapi kau tak menghiraukan apa yang baru saja lelaki itu ucapkan padamu. Serpihan senja merambat di sisi wajah si lelaki, membuatnya berpendar keemasan. Lantas kau mendapati degup di dadamu tengah berloncatan karenanya.
            Dia adalah seseorang yang ditakdirkan untukmu.
            Kau menggeleng, ini aneh. Bagaimana mungkin kau merasa yakin lelaki di hadapanmu adalah seseorang yang ditakdirkan untukmu ketika kau bahkan tidak tahu siapa namanya.
            “Ah, maaf. Kurasa aku tidak sopan karena belum memperkenalkan diriku. Namaku Azzam.” Sepasang tangan lelaki itu jatuh di udara. Kau menatapnya selama sepersekian detik sebelum membalas uluran tangannya.
            Azzam. Apakah kami pernah bertemu?
            Kau merasa tak asing dengan tangan itu, dengan bangku yang tengah kau duduki, dengan angin yang berlesatan di antara kalian, dengan teduh tatap mata lelaki itu.

            Kemudian, kau temukan dirimu meyakini bahwa ini adalah keisengan semesta, mempertemukanmu dengan belahan jiwamu dengan perasaan ganjil yang bergaung di dadamu. Kau mengulas senyum, kau rasa kau jatuh cinta pada pandang pertama dengan lelaki itu. Kau tak pernah tahu, 2100 hari setelah pertemuan itu sahabatmu meneleponmu hanya untuk menyampaikan kabar bahwa lelaki yang saat itu tengah membalas senyummu akan menikah esok harinya. Dengan seorang wanita, tapi bukan dirimu.

Komentar