ketika waktu menyadarkan hati jika ia telah terlelap dalam lamunan terlalu lama. tiga tahun, kemudian aku sadar namamu tak pernah jauh dari hati kecilku. namamu adalah bisikan yang menggema di ruang kosong yang entah di mana dasarnya. ini untukmu, sekalipun rasanya terlambat untuk berucap jujur.


Ini bukan sajak patah hati. Ini hanya tentang cuaca yang sedang melankolis.
Tentang isi hati Matahari pada Rintik Hujan.
Dari tempatku kini merebahkan badan, aku bisa melihatnya dengan jelas. Berona putih suram, tanpa berteman awan yang menyenangkan. Langit yang membosankan, ku rasa. Jika saja kau sedang duduk bersila di sampingku saat ini, kau pasti sudah mengatakan bahwa mendung adalah pertanda baik. Aku tak perlu menanyakan alasannya. Aku telah mengenalmu sama baiknya seperti mengenal awan kelabu pertanda hujan.
Kau pernah bertanya padaku mengapa aku membenci hujan. Sebaliknya, aku tak pernah sekalipun bertanya padamu mengapa kau begitu memuja hujan. Ku kira jawabanmu akan sama dengan alasanku begitu mencintai matahari. Hanya saja dalam objek yang berbeda: kau hujan; aku matahari.
Tapi entah kenapa, kali ini mendadak aku begitu merindukan hujan. Rindu pada riuh langkahnya di atap rumah. Juga pada tiap tetesnya yang merembes di jendela. Kau tahu, ternyata hujan tidak seburuk dugaanku. Aku tidak pernah memperdulikan hujan sebelum aku mengenalmu. Mungkin kau dan semua ocehanmu yang beraroma hujan itu sudah meninggalkan jejak dalam otakku. Atau sebenarnya kau memang telah menghipnotisku lewat deras hujan kala sore itu.
Aku memandanginya jatuh dari ketinggian yang aku belum tahu pasti dimana. Kau yang tahu, kau mengenal hujan seperti mengenal tentang dirimu sendiri. Seolah hujan adalah bagian dari dirimu, dan kau adalah salah satu dari rintik hujan yang menghantam tanah. Kau pernah berkata jika hujan tak pernah mati, tak pernah menghilang, sekalipun manusia dihidupkan lalu ditiadakan. Menurutmu hujan selalu bereinkarnasi menurut alur kehidupannya. Dia hidup, menguap, lalu datang lagi dalam wujud yang berbeda. Terkadang dia datang dalam irama rintik lembut yang terdengar seperti lagu kenangan masa lalu. Terkadang pula dia datang berwujud marah, kasar, seperti tidak tahu ampun.
Aku bertanya-tanya mengapa kau masih begitu menyukai hujan jika kau tahu sewaktu-waktu ia bisa berubah menjadi sesuatu yang menghancurkan? Lalu kau menjawab “aku jatuh cinta pada hujan, bagaimana pun. Ia tak perlu berubah menjadi pelangi agar aku bisa jatuh cinta padanya. Begitu saja bagiku sudah sangat cukup.” Kemudian kau tersenyum menatap langit. Pada bulir-bulir air yang menjatuhi wajahmu. Sejak saat itu aku memutuskan untuk jatuh cinta padamu, sama seperti kau jatuh cinta pada tetes hujan. Aku ingin menatapmu dengan tatapan yang selalu kau berikan pada langit berhujan. Aku juga ingin agar perasaan ini tetap seperti ini, sampai akhirnya hujan menemukan alasan logis untuk berhenti mengikuti alur kehidupannya.
Sore ini sama seperti sore-sore lain di bulan Desember yang basah. Bahkan angin yang mengudara seperti telah kehilangan satu-satunya kehangatan yang dimiliknya. Seandainya saja kau ada di sini sekarang, mungkin saja kau bisa mengobati rasa senyap yang tiba-tiba terasa menyesakkan. Sedang apa kau di sana? Apakah kau sibuk memandangi hujan yang menari di langit? Sekarang aku sedang memandanginya lewat jendela kamar yang sengaja ku biarkan terbuka. Biar saja angin yang menggigil menusuki tubuhku. Biar saja percikan-percikan hujan menelusup masuk ke kamarku. Jangan suruh jendela itu menutup. Aku hanya sedang merindukanmu dengan amat sangat. Biarkan hujan jadi penawarnya. Seperti halnya angin yang telah kehilangan satu-satunya kehangatan, kau telah mencuri satu-satunya matahari milikku. Jadi apakah kau tak mengizinkanku berbagi hujanmu denganku?
Ada hal yang sulit ku jelaskan ketika aku melihatmu sore itu. Sepulang sekolah, di bawah naungan cahaya merah tembaga. Kau berdiri menantang matahari yang malu-malu tenggelam. Ketika bayanganmu jatuh menimpa ujung sepatuku, aku mulai merasa ada desir aneh yang tiba-tiba menyergap. Apakah jarakku terlalu dekat untuk sekedar mengagumi dua keindahan Tuhan? Aku selalu menikmati cahaya matahari sore, namun ketika kau berdiri di sini dan ikut menikmatinya, semua terasa jauh lebih indah. Saat itu aku merasa sangat bersyukur karena Tuhan telah menciptakan skenario dimana aku yang selama ini hanya bisa mengagumimu dalam kesunyian, akhirnya dapat melihat senyum indahmu dari dekat. Apa kau percaya jika aku berkata saat itu rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya bersamaan di perutku? Salahkah jika aku menerjemahkannya sebagai perasaan istimewa yang aku berikan padamu? Biarlah aku menyimpannya sendiri. Sedangkan tentang kenangan sore itu—disaksikan langit jingga yang meredup, awan sirus juga kepak burung yang pulang ke sarang—aku memasukkannya dalam daftar hari tak terlupakan.

Tentang yang tak terucapkan oleh Gerimis pada Terik Matahari.
Aku mengangkat tanganku tepat di atas alis. Mencoba melindungi pandanganku sendiri dari terik matahari yang terasa menyilaukan mata. Kalau saja kau yang berdiri di dekatku saat ini, kau pasti sudah menyeretku agar berlari mengekor di belakangmu menyusuri garis pantai. Aku membayangkan seringaianmu yang mengembang dan semangatmu yang seperti tak ingin kalah menyala dengan matahari. Kau dan matahari bagai dua tetes air hujan yang berlomba menyentuh bumi. Begitu deras hingga tak ada seorangpun kecuali Tuhan yang dapat menentukan pemenangnya.
Aku tidak mengerti mengapa namamu yang tiba-tiba mencuat dari ingatanku ketika aku berhadapan dengan langit cerah bulan Juni. Mengapa pula wajahmu yang terbayang ketika aku menghabiskan sisa liburanku di bawah terik matahari dan deburan ombak pantai Losari. Jadi, benarkah hatiku telah jatuh pada sosokmu yang mengaku sebagai matahari kedua? Namun ku rasa kau memang benar adanya, kau adalah matahari kedua bagiku. Matahari yang menyinari langit-langit mendung hatiku.
Aku masih heran, mengapa kau selalu menggerutu saat hujan turun. Bukankah aku pernah mengingatkanmu untuk bersyukur saat tetes-tetes itu jatuh membasahi tanah? Kau hanya mendengus pelan. Apa kau marah karena hujan telah membuat sepatu kesayanganmu basah? Maafkanlah hujan, tapi memang tak seharusnya kau membenci sesuatu seindah rintik hujan.
Apa kau masih mengingat kali pertama kita bertemu? Ketika langit semerah tembaga dan angin berdesir lembut melewati bayangan kita. Kau berdiri di sampingku. Kita berdua sama-sama mematung, terhipnotis keindahan langit barat belakang sekolah. Aku belum pernah menyangka jika sebuah perpisahan bisa seindah ini. Mungkin karena matahari-lah yang sedang berpamitan, segalanya jadi istimewa. Bahkan langit seperti sedang memamerkan lukisan maha karya Tuhan. Semburat jingganya serta awan-awan yang bergerak lamban, segalanya benar-benar sempurna. Tiba-tiba aku merasa diterjang perasaan aneh, deja vu. Apakah sebelumnya kita pernah bertemu?
Di malam itu, saat derap langkah terasa sangat berat untuk beranjak, sekali lagi dan mungkin untuk terakhir kalinya aku mencari bayanganmu. Walaupun hanya ada secuil kemungkinan kau segan menemuiku. Aku berharap setidaknya ada sebaris kata perpisahan yang meluncur dari bibirmu, namun kenyataannya aku terlalu tinggi berharap. Jadi aku mengemas rapat perasaan ini, yang mungkin tak akan pernah kau ketahui. Aku sadar, kau terlampau terik untuk mendungku yang suram.
Aku menyukaimu. Dua kata yang sejak lama ingin kuteriakkan tiap punggungmu berbalik mengahadapku. Sebuah kalimat yang bahkan sampai detik ini hatiku belum juga mampu mengumpulkan cukup keberanian untuk sekedar membisikkannya lewat angin yang berembus. Aku mengutuki diriku yang hanya mampu melihat punggungmu menjauh lalu menghilang. Aku menyesal karena aku terlalu pengecut hingga tak mampu berucap jujur padamu.
Aku berharap perpisahanku denganmu akan seindah perpisahan matahari pada senja. Sekalipun berpisah denganmu adalah hal yang tak pernah ku inginkan terjadi dalam hidupku. Bagaimana bisa aku menjauh darimu, matahari kedua, ketika aku benar sadar hanya kaulah yang mampu menyihir hariku menjadi secerah langit bulan Juni?

Komentar