ini cerpen hasil ngambek sama sahabat yang dulu dekeeeet banget pas SD, dan mendadak jadi jauh pas SMA. check this out. happy reading! ;)
Aku melangkah melewati pintu ganda yang hanya terbuka di satu sisinya. Kelas masih lengang kekurangan penghuni. Tapi bangku nomor dua dari belakang di deret selatan dekat jendela sudah terisi. Gadis itu dan novel tebalnya, dan tentu saja headset yang setia menempel di kedua lubang telinganya. Siapa lagi?
Aku menghela
napas. Dalam hati menyesal datang terlalu pagi sehingga harus terjebak dalam
keadaan canggung seperti ini. Diam-diam aku melirik ke arahnya sambil berjalan
menuju bangkuku yang jauh berseberangan dengannya. Sepertinya dia belum
menyadari jika ada makhluk lain selain dia di ruangan ini. Baiklah, selain
malaikat dan setan pasti.
Aku menarik kursi
dan menggantung tas pada pengait di sisi samping meja. Mataku masih tetap
mengawasi setiap gerakan yang dibuat olehnya. Dia sudah membalik halaman novel
empat kali sejak aku masuk kelas, berdeham dua kali, dan mengubah posisi duduk
tiga kali. Sementara yang aku lakukan sedari tadi hanyalah mengayun-ayunkan
pulpen di atas note kecil. Mei. Mei. Mei. Mei. Mei. Begitu terus bunyinya.
Dalam bentuk tulisan yang sama, tapi ukuran yang berbeda. Begitu banyak sampai
saling menumpang tindih dan nyaris tak terbaca.
Aku menyerah!
Akhirnya aku membanting pulpen di atas note dan berdiri. Ku paksa kakiku yang
malas untuk beranjak. Entah kenapa mendadak lututku gemetaran. Tapi aku memang
harus cepat pergi dari tempatku duduk. Harus atau lapisan kaca yang mulai
memburamkan pandanganku akan pecah. Mulanya langkahku pendek-pendek, namun aku
rasa aku akan cepat sampai jika aku memperpanjang jangkauan kakiku. Tidak, akan
lebih sedikit waktu yang dibutuhkan jika aku berlari. Ya, aku pun menambah
kecepatan langkahku. Dua langkah per sekon? Lebih cepat lagi. Lagi. Lagi.
Aku tiba di kamar
mandi perempuan dengan mata yang terasa seperti terbakar. Air mata meluncur
begitu saja melewati bukit wajahku tanpa komando. Aku berusaha keras menahan
agar suara isakanku tidak terdengar siapapun. Ini masih terlalu pagi untuk
menangis. Tapi, siapa pula yang tahan tidak menangis jika menjadi aku? aku
menatap bayangan cermin yang sekarang sedang menatapku balik. Bahunya sedikit
berguncang melawan sesak di dada. Aku bisa merasakan ada berbagai macam emosi terpendam
rapat di sana. Namun sayangnya emosi itu terlalu kuat, terlalu hebat untuk
disimpan begitu saja. Kini entah kenapa dia memberontak seenaknya di waktu yang
tidak tepat. Benar-benar sial.
Ini sudah kali
ketiga aku meminta maaf padanya. Tapi dia tetap bergeming, enggan menanggapi.
Aku berusaha menyapa dia lebih dulu, tapi dia hanya membalas dengan senyum
singkat atau “hm”. Pernah kali itu aku melihatnya ketika aku baru saja melewati
gerbang sekolah. Lalu aku berhenti untuk menunggunya menyusulku. Mungkin
berjalan bersama menuju kelas adalah cara yang bagus untuk berbaikan, pikirku
waktu itu. Aku mempersiapkan senyuman terbaikku. Ku angkat tanganku dan
melambai singkat padanya. Sayangnya ternyata perkiraanku meleset. Dia malah
menghindar dan memilih jalan memutar. Aku tidak tau apa yang salah dengan
hatiku, rasanya perih sekali. Tanganku masih tetap mengambang diudara. Seiring
dengan memudarnya senyumanku, perasaanku luruh perlahan.
Aku Riani, dan
dia Mei adalah teman yang sangat dekat. Sahabat, mungkin bisa dibilang begitu. Aku
selalu membayangkan akan melewati tiga tahun masa putih abu-abuku bersama dia.
Membayangkan ketika kami sama-sama bercerita tentang seseorang yang sanggup
membuat kami terpekik girang hanya karena senyuman, bagaimana buruknya hari
kami karena hukuman, lalu kami akan tertawa bersama karena kenakalan kecil yang
kami buat. Itu akan jadi hari-hari indah yang takkan terlupakan. Andai saja semua
berjalan seperti bayanganku. Andai saja tidak perlu ada masalah itu. Andai
saja. Pasti semua masih utuh, masih baik-baik saja, dan aku tidak akan merasa
hancur karena kehilangan seperti ini.
Tapi apa gunanya
menyalahkan takdir yang sudah terlanjur berlalu? Semua sudah terjadi dan kini
aku belajar menerimanya. Hanya saja yang aku rasakan kali ini jauh lebih rumit
daripada sekedar perasaan menyesal. Aku tidak pernah menyangka keadaannya akan
jadi seburuk ini. Dia berubah menjadi seseorang yang menutup diri dengan dunia
luar. Kini tidak ada lagi aku, hanya dia dan dunia kecilnya. Lengkap dengan pagar
beton pembatas yang tinggi. Tidak ada yang bisa mengintip barang sedikitpun.
Salahku kah? Bisa jadi, iya.
Dia jadi sering
menghilang di tengah-tengah jam belajar. Sering terlihat melipat tangan di atas
meja dan tertidur di jam istirahat. Dia jadi menghindariku. Mungkin dia tidak
pernah tau, tapi selama ini aku sering memperhatikannya. Aku melihatnya tertawa
bersama teman-teman lain. Aku senang melihatnya baik-baik saja. Tapi di sisi
lain aku juga merasa sakit ketika tau posisiku telah tergantikan. Kadang di
sela tawaku bersama teman-teman dan mataku menangkap sosoknya yang sendirian,
aku merasa ingin berlari ke arahnya lalu menyapanya hangat seperti dulu. Tentu
saja aku sadar semua tidak semudah membalik telapak tangan. Tidak sesederhana
membeli permen di warung. Tapi apakah aku tidak memiliki kesempatan untuk
mengembalikan semua seperti dulu lagi?
Ah, aku bodoh.
Sesuatu yang pecah, tidak akan bisa kembali seperti sedia kala. Sekeras apapun
kau mencoba, sekuat apapun kau berusaha, hasilnya akan sama. Akan ada bekas
yang mengingatkan bahwa dia pernah pecah. Tidak akan pernah sama lagi. Tak akan
pernah. Rasanya seperti tengah berusaha merekatkan kembali cangkang telur yang
rapuh. Satu sentuhan bisa saja membuat retakan baru. Satu gerakan bisa saja
mengakibatkan dia semakin jauh.
Adakah hal lain
yang sekiranya bisa kulakukan selain membuang air mata? Tolong beri tahu aku.
Komentar
Posting Komentar