Sepaket Rasa (Alifah Mahardika)


newest cerpen originally made by me! ini tugas bahasa indonesia yang rencananya mau dikumpulin heheh. enjoy!
Setiap senyuman, bisa saja menyimpan lukanya sendiri. Bahkan dalam setiap tetes air mata yang meluncur, mungkin saja tersembunyi perasaan bahagia yang membuncah. Jangan terlalu cepat mengartikan sebuah senyuman yang dibentangkan ketika melepas kepergian seseorang, atau setetes air mata yang tanpa sengaja ditumpahkan bersamaan dengan derai tawa. Walaupun kadang, ada seseorang yang menyembunyikan air mata di balik seringaian lebar. Di sela tawa renyah dan candaan yang terkesan dipaksakan. Bisa jadi orang itu sedang menyembunyikan lukanya, menyembunyikan perasaan yang dipendamnya sejak lama. Berusaha menahan rasa sakit yang menyayat hati, sekalipun dia tau—dia tidak sekuat itu.
Dia seorang gadis yang berwajah pucat tapi semangatnya seperti memang sudah berada di dalam dirinya sejak dia dilahirkan. Suaranya nyaring, sering membuat bising suasana kelas, tapi dia seperti sinar lilin di ruangan yang gelap. Tanpa dia, kelas bisa terasa senyap. Pernah sekali dia sakit selama satu pekan, dan baru saat itu kami merasa merindukan suasana riuh yang sering diakibatkan olehnya. Sesudahnya, dia yang sering diabaikan menjadi idola dadakan di kelas. Saat itu kami sadar, kami beruntung mempunyai sahabat seperti dia.
Dia gadis baik yang sering membantu teman-temannya ketika mengalami kesulitan. Dia gadis yang tidak suka pelajaran matematika dan sains sekalipun dia berada di kelas ilmu alam. Dia gadis yang diam-diam sering menggores selusin batangan pensil warna di atas buku sketsa di sela jam pelajaran eksak. Dia paling semangat ketika jam pelajaran bahasa dan melukis, tetapi bisa berubah menjadi seseorang yang amat tidak bersemangat ketika jam pelajaran fisika.
Dia bukan gadis cheerleader atau idola cowok-cowok di sekolah. Dia hanya gadis sederhana dengan setumpuk buku bacaan dan lusinan humor khasnya. Dia bukan anggota organisasi sekolah, dia hanya seorang murid yang menghabiskan jam pulang sekolahnya untuk berkutat dengan tanaman-tanaman di rumah kaca. Ada satu tanaman kesukaannya. Letaknya di sudut, walau begitu tempat itu termasuk strategis untuk mendapat siraman cahaya matahari. Tanaman itu tumbuh subur hingga berbunga indah. Dia terlihat bersemangat sekali ketika kuncup pertama muncul. Dia semakin sering mengunjungi rumah kaca. Sampai ketika bunga itu mekar—aku tahu. Dia penyuka bunga matahari. Ah, harusnya aku sudah menduganya. Dia dan bunga matahari begitu mirip satu sama lain.
Suatu hari, aku merasa ada yang berbeda dari dia. Dari caranya terseyum, dari tatapan matanya yang melembut, dan dari rona wajahnya yang merekah. Jika dugaanku benar, dia sedang jatuh cinta. Pada siapa? Aku rasa aku tau pelakunya, karena diam-diam semua anak membicarakan hal ini.
Lelaki itu adalah salah satu dari dua belas laki-laki yang menghuni deretan bangku di kelasnya. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya cepak, tapi agak panjang di bagian poni yang selalu dibentuk ke atas menggunakan gel rambut. Dia memiliki cekungan kecil di kedua sisi pipinya dan akan terlihat jelas ketika dia berbicara atau ketika seringaian jahilnya muncul. Matanya yang coklat selalu ikut terseyum ketika bibirnya tetarik membentuk lengkungan. Lelaki yang lumayan menarik, aku rasa.
Dua minggu berlalu, kabar itu menyebar begitu cepat. Membelai telinga si gadis seperti angin sepoi di sore hari, tapi cukup meremukkan ulu hati. Lelaki itu... sudah punya kekasih seorang gadis kelas ujung koridor. Berita itu semakin terbukti kebenarannya ketika si lelaki menggandeng erat kekasih barunya melewati gerbang sekolah setelah bel pulang berdentang tiga kali.
Sekilas, tidak ada yang berbeda dengannya. Dia masih gadis bunga matahari yang dulu. Yang baik, suka menolong, tidak suka pelajaran eksak, dan suka menggambar di kelas. Tak banyak yang memperhatikan jika ada yang berbeda dengan senyumnya. Dari bias semangat yang tiap hari selalu dia pancarkan, rasanya mulai meredup. Walaupun suara tawanya masih sama seperti dulu, tapi aku bisa menangkap ada nada kepedihan terselip diantaranya. Dia hanyalah manusia biasa yang berusaha kuat, berusaha terlihat baik-baik saja. Hanya karena tidak ingin membuat khawatir orang-orang di sekitarnya.
Aku kira seseorang dengan stok senyuman yang seakan tidak ada habisnya seperti dia, bisa dengan mudah melupakan seseorang yang pernah membuatnya patah hati. Tapi ternyata aku salah. Ketika kelulusan tiba, aku mencoba menemukannya di antara barisan kursi yang mulai penuh sesak. Dia tidak ada. Baru ketika seorang guru memanggil namaku untuk maju ke atas panggung dan menerima penghargaan kelulusan, aku menemukannya. Berdiri di sudut terjauh dari tempat seharusnya dia berada. Sebelah tangannya melambai pelan, sebelah lagi terselip setangkai bunga matahari yang mekar sempurna.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya setelah serangkaian upacara pelepasan selesai. “Bicaralah” jawabku. Tiba-tiba wajahnya bersemu merah. Pandangannya sengaja ditumpukan pada ujung sepatu hitamnya. Perlahan bunga matahari yang sedari tadi berada di genggamannya menyembul dari balik punggungnya. Bunga matahari yang cantik, secantik dia. “Kau adalah seseorang yang selama ini menjadi penyemangatku. Entah kenapa, setiap aku melihat bunga matahari, aku selalu teringat padamu. Itulah sebabnya mengapa aku begitu suka pada bunga ini,” matanya menatap bunga matahari itu dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. “aku merawat bunga ini sejak aku menyadari tentang perasaanku padamu. Walaupun aku tau perasaan kita berbeda, nyatanya aku tetap menyukaimu.” Tepat setelah bunga itu berpindah tangan kepadaku, dia berlari menjauh. Itu adalah kali terakhir aku bertemu dengannya.
Tiga tahun berlalu sejak kelulusan, tapi aku masih mengingat dia seperti pertama kali aku bertemu dengannya dulu. Hari itu aku datang ke acara reuni angkatan. Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba aku merasa merindukannya. Aku rasa selama ini aku sudah jatuh cinta padanya. Sekalipun saat itu aku sudah bersama gadis lain, nyatanya aku masih saja memperhatikan semua tentangnya. Aku hanya terlambat sadar, tapi aku berharap aku tidak terlalu terlambat untuk mengatakan perasaanku padanya.
Aku menunggunya datang. Sebuah buket bunga matahari ku pegang hati-hati. Karena aku tak kunjung melihat tanda kehadirannya, aku memutuskan untuk bertanya pada sahabat dekatnya dulu. Namun, tiba-tiba air muka gadis yang kini tengah berdiri di depanku berubah sendu. Yang kemudian dia lakukan adalah menepuk pundakku. Dia memberitahuku jika sahabatnya itu sudah meninggal satu bulan yang lalu karena leukimia.
            Tanpa sadar genggamanku semakin erat. Gadis matahari itu... meninggal? Aku kehilangan suara. Segala kosa kata dalam otakku seperti disihir lenyap. Mendadak aku merasa kebas. Apakah ini artinya aku sudah terlambat? Salahku memang lebih memilih untuk menyimpan sepaket rasa ini sekian lama, dari pada menyampaikannya pada gadis bunga matahari itu. Apalah yang bisa aku lakukan ketika bunga matahari itu kini telah layu? Dia tidak akan kembali, tidak akan mekar seperti awal bulan Juni lalu.
***

Komentar