newest cerpen originally made by me! ini tugas bahasa indonesia yang rencananya mau dikumpulin heheh. enjoy!
Setiap senyuman, bisa saja menyimpan lukanya sendiri.
Bahkan dalam setiap tetes air mata yang meluncur, mungkin saja tersembunyi
perasaan bahagia yang membuncah. Jangan terlalu cepat mengartikan sebuah
senyuman yang dibentangkan ketika melepas kepergian seseorang, atau setetes air
mata yang tanpa sengaja ditumpahkan bersamaan dengan derai tawa. Walaupun
kadang, ada seseorang yang menyembunyikan air mata di balik seringaian lebar.
Di sela tawa renyah dan candaan yang terkesan dipaksakan. Bisa jadi orang itu
sedang menyembunyikan lukanya, menyembunyikan perasaan yang dipendamnya sejak
lama. Berusaha menahan rasa sakit yang menyayat hati, sekalipun dia tau—dia
tidak sekuat itu.
Dia seorang gadis yang berwajah pucat tapi semangatnya
seperti memang sudah berada di dalam dirinya sejak dia dilahirkan. Suaranya
nyaring, sering membuat bising suasana kelas, tapi dia seperti sinar lilin di
ruangan yang gelap. Tanpa dia, kelas bisa terasa senyap. Pernah sekali dia
sakit selama satu pekan, dan baru saat itu kami merasa merindukan suasana riuh
yang sering diakibatkan olehnya. Sesudahnya, dia yang sering diabaikan menjadi
idola dadakan di kelas. Saat itu kami sadar, kami beruntung mempunyai sahabat
seperti dia.
Dia gadis baik yang sering membantu teman-temannya ketika
mengalami kesulitan. Dia gadis yang tidak suka pelajaran matematika dan sains
sekalipun dia berada di kelas ilmu alam. Dia gadis yang diam-diam sering
menggores selusin batangan pensil warna di atas buku sketsa di sela jam
pelajaran eksak. Dia paling semangat ketika jam pelajaran bahasa dan melukis,
tetapi bisa berubah menjadi seseorang yang amat tidak bersemangat ketika jam
pelajaran fisika.
Dia bukan gadis cheerleader atau idola cowok-cowok
di sekolah. Dia hanya gadis sederhana dengan setumpuk buku bacaan dan lusinan
humor khasnya. Dia bukan anggota organisasi sekolah, dia hanya seorang murid
yang menghabiskan jam pulang sekolahnya untuk berkutat dengan tanaman-tanaman di
rumah kaca. Ada satu tanaman kesukaannya. Letaknya di sudut, walau begitu
tempat itu termasuk strategis untuk mendapat siraman cahaya matahari. Tanaman
itu tumbuh subur hingga berbunga indah. Dia terlihat bersemangat sekali ketika
kuncup pertama muncul. Dia semakin sering mengunjungi rumah kaca. Sampai ketika
bunga itu mekar—aku tahu. Dia penyuka bunga matahari. Ah, harusnya aku sudah
menduganya. Dia dan bunga matahari begitu mirip satu sama lain.
Suatu hari, aku merasa ada yang berbeda dari dia. Dari caranya
terseyum, dari tatapan matanya yang melembut, dan dari rona wajahnya yang
merekah. Jika dugaanku benar, dia sedang jatuh cinta. Pada siapa? Aku rasa aku
tau pelakunya, karena diam-diam semua anak membicarakan hal ini.
Lelaki itu adalah salah satu dari dua belas laki-laki
yang menghuni deretan bangku di kelasnya. Kulitnya kuning langsat. Rambutnya
cepak, tapi agak panjang di bagian poni yang selalu dibentuk ke atas
menggunakan gel rambut. Dia memiliki cekungan kecil di kedua sisi pipinya dan
akan terlihat jelas ketika dia berbicara atau ketika seringaian jahilnya
muncul. Matanya yang coklat selalu ikut terseyum ketika bibirnya tetarik
membentuk lengkungan. Lelaki yang lumayan menarik, aku rasa.
Dua minggu berlalu, kabar itu menyebar begitu cepat.
Membelai telinga si gadis seperti angin sepoi di sore hari, tapi cukup
meremukkan ulu hati. Lelaki itu... sudah punya kekasih seorang gadis kelas
ujung koridor. Berita itu semakin terbukti kebenarannya ketika si lelaki
menggandeng erat kekasih barunya melewati gerbang sekolah setelah bel pulang
berdentang tiga kali.
Sekilas, tidak ada yang berbeda dengannya. Dia masih
gadis bunga matahari yang dulu. Yang baik, suka menolong, tidak suka pelajaran
eksak, dan suka menggambar di kelas. Tak banyak yang memperhatikan jika ada
yang berbeda dengan senyumnya. Dari bias semangat yang tiap hari selalu dia
pancarkan, rasanya mulai meredup. Walaupun suara tawanya masih sama seperti
dulu, tapi aku bisa menangkap ada nada kepedihan terselip diantaranya. Dia
hanyalah manusia biasa yang berusaha kuat, berusaha terlihat baik-baik saja.
Hanya karena tidak ingin membuat khawatir orang-orang di sekitarnya.
Aku kira seseorang dengan stok senyuman yang seakan tidak
ada habisnya seperti dia, bisa dengan mudah melupakan seseorang yang pernah
membuatnya patah hati. Tapi ternyata aku salah. Ketika kelulusan tiba, aku
mencoba menemukannya di antara barisan kursi yang mulai penuh sesak. Dia tidak
ada. Baru ketika seorang guru memanggil namaku untuk maju ke atas panggung dan
menerima penghargaan kelulusan, aku menemukannya. Berdiri di sudut terjauh dari
tempat seharusnya dia berada. Sebelah tangannya melambai pelan, sebelah lagi
terselip setangkai bunga matahari yang mekar sempurna.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” katanya setelah
serangkaian upacara pelepasan selesai. “Bicaralah” jawabku. Tiba-tiba wajahnya
bersemu merah. Pandangannya sengaja ditumpukan pada ujung sepatu hitamnya.
Perlahan bunga matahari yang sedari tadi berada di genggamannya menyembul dari
balik punggungnya. Bunga matahari yang cantik, secantik dia. “Kau adalah
seseorang yang selama ini menjadi penyemangatku. Entah kenapa, setiap aku
melihat bunga matahari, aku selalu teringat padamu. Itulah sebabnya mengapa aku
begitu suka pada bunga ini,” matanya menatap bunga matahari itu dengan ekspresi
yang sulit dijelaskan. “aku merawat bunga ini sejak aku menyadari tentang
perasaanku padamu. Walaupun aku tau perasaan kita berbeda, nyatanya aku tetap
menyukaimu.” Tepat setelah bunga itu berpindah tangan kepadaku, dia berlari
menjauh. Itu adalah kali terakhir aku bertemu dengannya.
Tiga tahun berlalu sejak kelulusan, tapi aku masih
mengingat dia seperti pertama kali aku bertemu dengannya dulu. Hari itu aku
datang ke acara reuni angkatan. Aku tidak tahu mengapa, tapi tiba-tiba aku merasa
merindukannya. Aku rasa selama ini aku sudah jatuh cinta padanya. Sekalipun
saat itu aku sudah bersama gadis lain, nyatanya aku masih saja memperhatikan
semua tentangnya. Aku hanya terlambat sadar, tapi aku berharap aku tidak
terlalu terlambat untuk mengatakan perasaanku padanya.
Aku menunggunya datang. Sebuah buket bunga matahari ku
pegang hati-hati. Karena aku tak kunjung melihat tanda kehadirannya, aku
memutuskan untuk bertanya pada sahabat dekatnya dulu. Namun, tiba-tiba air muka
gadis yang kini tengah berdiri di depanku berubah sendu. Yang kemudian dia
lakukan adalah menepuk pundakku. Dia memberitahuku jika sahabatnya itu sudah
meninggal satu bulan yang lalu karena leukimia.
Tanpa sadar genggamanku semakin
erat. Gadis matahari itu... meninggal? Aku kehilangan suara. Segala kosa kata
dalam otakku seperti disihir lenyap. Mendadak aku merasa kebas. Apakah ini
artinya aku sudah terlambat? Salahku memang lebih memilih untuk menyimpan
sepaket rasa ini sekian lama, dari pada menyampaikannya pada gadis bunga
matahari itu. Apalah yang bisa aku lakukan ketika bunga matahari itu kini telah
layu? Dia tidak akan kembali, tidak akan mekar seperti awal bulan Juni lalu.
***
Komentar
Posting Komentar