Aku duduk
menghadap ke arah jendela yang basah. Rintik hujan masih menari di luar sana.
Setiap tetesnya yang menghantam tanah kering menimbulkan aroma khas yang sukses
membuat anganku melayang menuju sebuah tempat pada suatu masa. Ketika pertama kali
kita, dan dia bertemu. Di sebuah tempat bernama sekolah, dan di suatu masa yang
selalu kita kenang sebagai salah satu hal terindah yang pernah menghampiri
hidup kita; masa SMA.
Kemudian
ingatanku terbang semakin jauh. Jauh.. menembus ribuan kenangan yang pernah
menyapa kehidupanku. Lalu aku berhenti pada suatu waktu. Ketika kepolosan masih
menjadi warna utama dalam diri kita. Ketika bahagia adalah rasa yang
mendominasi hari-hari kita. Juga ketika kita tak perlu menangis karena cinta
dan patah hati. Aku memejamkan mata erat. Kenangan itu masih membekas dengan
jelas. Menimbulkan perasaan hangat tiap kali aku mencoba menyentuhnya.
Seandainya kamu tau, aku tidak pernah melupakan bagaimana awal kita bertemu.
Buatku, pertemuan denganmu adalah hal terindah yang pernah menyapaku. Sekaligus
hal terindah yang merubah dunia kecilku.
“Tryas!
Tungguin!” aku berseru ke arahmu. Kamu yang sedang berlari di pematang sawah
berhenti dan menoleh ke arahku.
“kamu lama
banget, Na. Lihat tuh gara-gara kamu layangannya ilang kan!” kamu menatapku
sebal. Ah, padahal kamu juga tahu, kakakku Deni bisa membuatkanmu layang-layang
baru. Dan kamu tidak perlu bersusah payah mengejar layang-layang putus. Kamu
masih saja menatap sebal, kali ini kamu melihat ke kerumunan anak yang sudah berlari
jauh mengejar layang-layang.
“nanti aku minta
kak Deni bikinin layang-layang baru. Yang warna merah kan?” aku bertanya
takut-takut. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal, Yas. Andai kamu tau itu.
“nggak papa. Kak
Deni udah sering bikinin aku layang-layang. Aku bisa beli di warung Pak Somad,”
jawabmu waktu itu. Matamu yang tadi sempat menatapku sebal mulai melunak. Aku
selalu tau, kamu tidak pernah dan tak akan bisa marah padaku. Betapa pun aku
sangat menyebalkan bagimu. Walaupun aku sudah sering menyusahkanmu karena
mengikutimu pergi kemana-mana. Iya kan, Yas?
Lalu kita berdua
masuk di sekolah dasar yang sama. Waktu itu kamu yang setahun lebih tua duduk
di kelas yang bersebelahan dengan kelasku. Kita selalu berangkat ke sekolah
bersama. Dan saat lonceng tanda pelajaran usai berdentang, kamu selalu jadi
orang pertama yang berdiri di depan kelasku. Kamu selalu menungguku keluar
kelas, sedangkan aku selalu melirik diam-diam mencari tanda kehadiranmu dari
jendela. Lima tahun, Yas. Tapi kamu tidak pernah bosan melakukan hal itu
padaku.
Ketika pengumuman
kelulusan tiba, aku bertanya dalam hati. Siapa yang nantinya akan menungguku di
depan kelas? Apa kita akan sering bertemu sepulang sekolah walaupun kita tak
lagi di sekolah yang sama? Yang aku tau, kamu termasuk siswa pintar dan
berhasil masuk di salah satu sekolah lanjutan yang menetapkan kriteria sangat
ketat untuk peserta didik barunya. Mampukah aku menyusulmu, Yas? Aku sempat
berkecil hati. Tapi aku masih ingat saat kamu membesarkan hatiku, menyulut api
semangat dan meyakinkanku bahwa aku mampu. Akhirnya aku bisa, Yas. Aku bisa
mengikuti jejakmu bersekolah di sana, walaupun tentu saja nilai akhirku tidak
ada apa-apanya dibanding denganmu.
Di masa itu, kamu
teman masa kecilku seketika menjelma menjadi seorang pelindung untukku. Kamu
layaknya kak Deni yang selalu menjagaku. Apa kamu masih ingat ketika kakak
kelas tiba-tiba mendatangiku dan berbuat buruk padaku? Kamu ada di sana, Yas.
Kamu yang menolongku. Bahkan aku tak tau bagaimana jadinya aku jika kamu tidak
ada di sana. Waktu itu aku menangis sejadi-jadinya. Dan kamu dengan sabar
menemaniku sampai air mataku kering. Kamu juga bersedia meminjamkan bahumu
untuk tempatku bersandar. Aku bersyukur karena Tuhan mengirimkan dirimu untuk
selalu ada di sampingku. Kamu serupa malaikat bagiku. Kamu, malaikatku.
Tahun-tahun
kebersamaan kita berlalu cepat dan meninggalkan jejak abadi bernama kenangan.
Yang kadang selalu kita ceritakan saat kita duduk menatap senja di atap rumahku. Lalu kita akan tertawa, atau
sekedar tersenyum hangat ketika desiran kenangan menggelitik lembut dinding
hati kita. Waktu itu aku merasa bahagia bisa berada di dekatmu. Melihat sorot
matamu yang teduh, melihat matamu yang ikut tersenyum bersama bibirmu,
mendengar cerita-ceritamu, kelakarmu, renyah tawamu. Aku suka saat kamu
meletakkan tanganmu di puncak kepalaku dan kamu mengusapnya lembut. Itu
membuatku merasa dekat denganmu. Dan diam-diam aku berharap kita akan selalu
begitu.
Akhirnya, aku
tiba pada kenangan ini. Masa SMA. Masa saat aku mulai merasa ada yang salah
dengan persahabatan kita. Awalnya ku kira hatiku sedang bermasalah, tapi
ternyata cinta-lah yang tengah bekerja di kehidupanku. Aku tidak pernah
menyangka jika aku akan menemui masa ketika aku menyadari bahwa selama ini
hatiku telah terkunci untuk satu nama. Namamu, Tryas. Namun ternyata hatimu
juga telah terkunci untuk satu nama, cinta juga tengah bekerja di kehidupanmu.
Sayangnya, cinta yang bekerja pada kehidupanku bukan seperti cinta yang bekerja
pada kehidupanmu. Aku, dan perasaanku yang tak berbalas; kamu dengan perasaanmu
yang bersambut.
Yas, aku tak
pernah menyangka jika cinta akan menyapa kita di waktu yang bersamaan. Aku
lebih tidak menyangka lagi ketika tau bahwa cinta yang menyapamu datangnya dari
sahabatku sendiri, Abby. Bagaimana bisa aku bahagia ketika lelaki yang selama
ini selalu jadi pemeran penting dalam mimpi-mimpiku berbahagia dengan gadis
lain? Tapi bagaimana bisa pula aku tak bahagia melihat sahabat baikku sendiri
bahagia? Semenjak kamu mengenal Abby dan kamu memutuskan untuk belajar mengeja
cinta bersamanya, kita semakin jauh, Yas. Sejak saat itu hanya ada aku dan
bayanganku yang duduk di atas atap sembari menanti mentari kembali ke peraduan.
Kadang angin yang berembus pelan mengingatkanku bagaimana rasanya ketika
sosokmu ada di sisiku. Tiba-tiba saja aku merasa seperti dipeluk angin malam
yang menggigil. Erat sekali hingga rasanya amat menyesakkan dada. Yas, aku
tidak tau apa yang salah dengan hatiku. Kenapa rasanya sakit sekali?
Sekarang sudah
tiga tahun berlalu sejak perpisahan sekolah. Aku sudah bukan lagi anak SMA. Dan
begitu pula kamu. Sekarang aku di Malang, dan kamu jauh di Kupang. Tryas,
perasaan itu tetap sama. Bahkan semakin perih dibumbui rindu. Semakin membuncah
walau dipisahkan jarak yang membentang. Semakin kuat. Tapi aku tak tau
bagaimana cara mengutarakannya padamu. Mungkin saja saat ini kamu sudah bahagia
dengan gadis lain di sana. Walaupun aku di sini masih memendam rapat perasaanku
padamu.
Komentar
Posting Komentar