Hujan yang Setia Menunggu November



Semangat nulis cerpen yang satu ini! Tema : ketika hati mulai bicara

Hangat sinar matahari pagi menyentuh telapak tanganku yang terulur ke luar jendela. Dari tempatku berdiri, aku bisa mencium bau rumput dan embun yang terbawa angin bulan Juni. Langit tampak biru bersih dengan gumpalan awan serupa permen kapas. Liburan sudah dimulai! gumamku. Sesaat kemudian aku sudah melesat keluar membawa jaring di tangan kananku.
          “Dion! Diooon!” panggilku sambil berlari melewati halaman depan. Sepertinya Dion lupa memangkas rumput depan rumahnya. Karena kini tingginya hampir menyentuh lututku. Seorang anak lelaki muncul dari balik pintu. Mata coklatnya masih setengah terpejam. Satu tangannya memegang kenop pintu. Sementara yang lain mengusap-usap matanya.
          “kau tidak lupa kan kalau hari ini liburan?” tanyaku.
          “tentu tidak. Aku baru saja berniat bangun lebih siang, Carl,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur. “tunggu sebentar. Aku mandi dulu,” lalu dia menghilang di balik pintu.
          Aku duduk di batang kayu tumbang tak jauh dari pintu rumah Dion. Aku dan Dion sudah saling mengenal sejak 10 tahun yang lalu. Saat itu aku dan keluargaku baru pindah. Aku kesulitan mencari teman, sampai akhirnya aku bertemu Dion yang usianya terpaut dua tahun lebih tua dariku. Aku tersenyum saat bayanganku menerawang jauh ke hari-hari yang sudah kulalui dengan Dion.
          Pertama kali mengenalnya, Dion hanyalah seorang anak laki-laki berumur 8 tahun yang sama seperti anak laki-laki pada umumnya. Matanya coklat bening, menyejukkan. Dengan senyum manis dan menggemaskan. Dia sangat suka memanjat pohon, berenang di danau, dan makan apel dari pohon besar dekat danau. Aku suka mengikutinya pergi kemana saja.
          Seperti terbangun dari mimpi panjang, aku disadarkan oleh kenyataan. Tanpa ku sadari, waktu sudah berjalan amat cepat. Kini, Dion bukan lagi anak laki-laki yang memanjat pohon dan memetikkan apel untukku. Dion yang sekarang adalah Dion dewasa yang dikagumi banyak gadis di sekolahnya. Lalu rasa takut mulai menerjang hatiku. Tiba-tiba saja aku merasa takut kehilangan Dion. Aku takut takkan ada lagi tangannya yang menghapus air mataku. Takkan ada lagi suaranya yang menenangkanku. Aku takut kehilangan sosok pelindungku selama ini.
          Air mataku mulai berdesakan keluar saat Dion muncul di depanku.
          “Carla, maaf aku lupa memberitahumu. Hari ini aku tidak bisa membantu mengerjakan tugas Biologimu. Aku ada janji dengan seseorang. Mungkin kau bisa menemukan banyak kupu-kupu di tepi danau. Bukankah sekarang bunganya mulai bermekaran?”
          “tapi... Dion.. kau kan sudah berjanji...,” susah payah aku menahan agar suaraku tidak bergetar. Tapi percuma saja, suaraku malah tercekat.
          “aku tau, Carl. Tapi, janji ini sangat penting. Aku janji akan membantumu lain kali,” jawabnya dengan nada menyesal.
          Lain kali. Aku ingat Dion yang dulu tak pernah berkata lain kali kepadaku. Dion... dia berubah. Aku tetap bergeming dan tak menanggapi ucapan Dion. Aku masih belum bisa menyesuaikan diri dengan perubahan sikap Dion yang terasa sangat asing buatku. Sejenak, kami hanyut dalam diam. Sampai sosoknya datang dan berdiri di depan pagar rumah Dion. Senyumnya mengembang. Aku tau senyum itu bukan ditujukan untukku, tapi Dion.
          Gadis yang berdiri di depan pagar itu... adalah seseorang yang sedang ditunggu Dion. Seseorang yang siap merebut Dion dari hidupku. Merenggutnya, dan hanya menyisakan ruang hampa dalam hatiku. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Pandanganku mulai kabur. Saat itu juga aku mendengar kata-kata terakhir Dion.
          “Baiklah, aku harus pergi,” perlahan langkahnya mulai menjauh. Aku masih diam menatap kepergiannya. Air mata mengalir deras di pipiku ketika aku melihat tangan yang selalu menghapus air mataku digenggam oleh tangan yang lain.
          Dia begitu cepat pergi. Bahkan sebelum bibirku meneriakkan namanya agar dia kembali. Dia sudah pergi, sebelum hatiku sempat mengaku jika aku jatuh cinta padanya.
Seperti hujan yang setia menunggu November, aku akan menunggumu.

Komentar