Semangat nulis cerpen
yang satu ini! Tema : ketika hati mulai bicara
Hangat sinar matahari pagi menyentuh telapak tanganku
yang terulur ke luar jendela. Dari tempatku berdiri, aku bisa mencium bau
rumput dan embun yang terbawa angin bulan Juni. Langit tampak biru bersih
dengan gumpalan awan serupa permen kapas. Liburan sudah dimulai!
gumamku. Sesaat kemudian aku sudah melesat keluar membawa jaring di tangan
kananku.
“Dion! Diooon!” panggilku sambil berlari
melewati halaman depan. Sepertinya Dion lupa memangkas rumput depan rumahnya.
Karena kini tingginya hampir menyentuh lututku. Seorang anak lelaki muncul dari
balik pintu. Mata coklatnya masih setengah terpejam. Satu tangannya memegang
kenop pintu. Sementara yang lain mengusap-usap matanya.
“kau tidak lupa kan kalau hari ini
liburan?” tanyaku.
“tentu tidak. Aku baru saja berniat
bangun lebih siang, Carl,” jawabnya dengan suara serak khas bangun tidur. “tunggu
sebentar. Aku mandi dulu,” lalu dia menghilang di balik pintu.
Aku duduk di batang kayu tumbang tak
jauh dari pintu rumah Dion. Aku dan Dion sudah saling mengenal sejak 10 tahun
yang lalu. Saat itu aku dan keluargaku baru pindah. Aku kesulitan mencari
teman, sampai akhirnya aku bertemu Dion yang usianya terpaut dua tahun lebih
tua dariku. Aku tersenyum saat bayanganku menerawang jauh ke hari-hari yang
sudah kulalui dengan Dion.
Pertama kali mengenalnya, Dion
hanyalah seorang anak laki-laki berumur 8 tahun yang sama seperti anak
laki-laki pada umumnya. Matanya coklat bening, menyejukkan. Dengan senyum manis
dan menggemaskan. Dia sangat suka memanjat pohon, berenang di danau, dan makan
apel dari pohon besar dekat danau. Aku suka mengikutinya pergi kemana saja.
Seperti terbangun dari mimpi panjang,
aku disadarkan oleh kenyataan. Tanpa ku sadari, waktu sudah berjalan amat
cepat. Kini, Dion bukan lagi anak laki-laki yang memanjat pohon dan memetikkan
apel untukku. Dion yang sekarang adalah Dion dewasa yang dikagumi banyak gadis
di sekolahnya. Lalu rasa takut mulai menerjang hatiku. Tiba-tiba saja aku
merasa takut kehilangan Dion. Aku takut takkan ada lagi tangannya yang
menghapus air mataku. Takkan ada lagi suaranya yang menenangkanku. Aku takut
kehilangan sosok pelindungku selama ini.
Air mataku mulai berdesakan keluar
saat Dion muncul di depanku.
“Carla, maaf aku lupa memberitahumu.
Hari ini aku tidak bisa membantu mengerjakan tugas Biologimu. Aku ada janji
dengan seseorang. Mungkin kau bisa menemukan banyak kupu-kupu di tepi danau.
Bukankah sekarang bunganya mulai bermekaran?”
“tapi... Dion.. kau kan sudah
berjanji...,” susah payah aku menahan agar suaraku tidak bergetar. Tapi percuma
saja, suaraku malah tercekat.
“aku tau, Carl. Tapi, janji ini sangat
penting. Aku janji akan membantumu lain kali,” jawabnya dengan nada menyesal.
Lain kali. Aku ingat Dion yang
dulu tak pernah berkata lain kali kepadaku. Dion... dia berubah. Aku tetap
bergeming dan tak menanggapi ucapan Dion. Aku masih belum bisa menyesuaikan
diri dengan perubahan sikap Dion yang terasa sangat asing buatku. Sejenak, kami
hanyut dalam diam. Sampai sosoknya datang dan berdiri di depan pagar rumah
Dion. Senyumnya mengembang. Aku tau senyum itu bukan ditujukan untukku, tapi
Dion.
Gadis yang berdiri di depan pagar
itu... adalah seseorang yang sedang ditunggu Dion. Seseorang yang siap merebut
Dion dari hidupku. Merenggutnya, dan hanya menyisakan ruang hampa dalam hatiku.
Tiba-tiba saja dadaku sesak. Pandanganku mulai kabur. Saat itu juga aku
mendengar kata-kata terakhir Dion.
“Baiklah, aku harus pergi,” perlahan
langkahnya mulai menjauh. Aku masih diam menatap kepergiannya. Air mata
mengalir deras di pipiku ketika aku melihat tangan yang selalu menghapus air
mataku digenggam oleh tangan yang lain.
Dia begitu cepat pergi. Bahkan sebelum
bibirku meneriakkan namanya agar dia kembali. Dia sudah pergi, sebelum hatiku
sempat mengaku jika aku jatuh cinta padanya.
Seperti hujan
yang setia menunggu November, aku akan menunggumu.
Komentar
Posting Komentar