My November



“..selamat tingggal kisah tak berujung,
Kini ku kan berhenti berharap
Perpisahan kali ini untukku
Akan menjadi kisah sedih yang tak berujung..”

“selamat ulang tahun, Krysan,”
            Aku mengusap kedua mataku yang masih terasa berat. Kak Zayn sudah duduk di samping tempat tidur dan membawa blackforest kesukaanku.
            “just make a wish, and it will come true,” katanya. Aku memejamkan mataku. Tuhan, semoga dia selalu bahagia, amin. Aku meniup 19 lilin warna-warni yang mulai leleh. Kak Zayn tersenyum. Senyum yang sama seperti saat kami baru bertemu. Senyum yang membuatku merasa nyaman. Dan tatapannya yang selalu meneduhkan seakan menjanjikan perlindungan untukku yang terlalu rapuh. Terimakasih, Tuhan. Engkau telah kirimkan seorang malaikatmu untukku. Tapi maaf, karena sampai saat ini aku masih mencintai-nya.
            “tadi kamu minta apa, Rys?”
            “minta yang seharusnya aku minta,” aku tersenyum padanya. Dia mengacak-acak rambutku gemas. Lalu dia berdiri dan berjalan menuju pintu. Tuhan, maafkan karena sekali lagi aku menyakiti hati malaikatku.
            “cepet mandi, terus sarapan di bawah. Jangan lupa, ini hari pertama kamu kerja ya!” kak Zayn masih tersenyum, tapi matanya... benarkah dia menahannya? Menahan sakitnya cinta yang tak terbalas?
---
“hari ini boleh bawa Joni jalan-jalan?” tanyaku penuh semangat.
            “baiklah, ini kan masih permulaan. Sebagai Tour Guide yang baik, kamu juga harus bisa beradaptasi sama lingkungan dan kuda-kuda di sini,” kak Zayn melepas tali yang mengikat Joni pada sebatang pohon. Joni adalah kuda favoritku sejak aku datang ke sini. Aku sudah sangat lama ingin menjadi  seorang pemandu wisata, dan bekerja dengan Joni.
            “apa sebaiknya ditemani dulu? Aku sama Joy bisa mengikutimu dari belakang,”
            “apa kak Zayn lupa? I’m 19 now!” aku tertawa dan meninggalkan kak Zayn.
            Pantai masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang berlalu lalang. Ini menguntungkanku, karena aku bisa memacu Joni untuk berlari lebih cepat. Di depanku berdiri seorang wanita dengan rambutnya yang dibiarkan tertiup angin. Matanya terpejam. Sepertinya dia tak menyadari kehadiranku dan Joni. Di telinganya ada sepasang earphone. Aku mengisyaratkan Joni untuk mengurangi kecepatan, tapi Joni tak mau berhenti. Joni tetap berlari dan menabrak wanita itu sampai dia terjatuh ke pasir.
            “mbak.. mbak nggak papa kan?” aku mendekati wanita yang masih berusaha bangkit itu.
            “kamu ini gimana sih? Nggak liat ya ada orang di sini? Kalo aku sampe kenapa-napa gimana? Kamu mau tanggung jawab?!”
            “mm.. maaf mbak, saya nggak sengaja. Joni memang baru pertama kali latihan sama saya,” aku menundukkan mukaku. Berusaha agar aku tidak menangis. Ah, andaikan tadi aku membiarkan kak Zayn menemaniku.
            “ada apa, Shella?”
            “ini nih! Cewek ini nabrak aku pake kudanya!”
            “kamu nggak papa kan? Ada yang cidera? Patah mungkin?” seorang lelaki berjalan menghampiri wanita yang setahuku bernama Shella. Tapi, entah kenapa, aku merasa tidak asing dengannya. Dengan raut khawatirnya, dengan mata coklatnya, dan bibir itu. Bibir yang dulu pernah menjadikan hariku indah dan bahagia hanya dengan senyuman yang diciptakannya.
            “kak Rendi..” tak sadar aku mengucapkan namanya. Lirih, tapi aku yakin dia masih bisa mendengarnya. Wajahnya terangkat, menatapku seakan aku alien yang baru saja turun dari UFO. Matanya coklatnya membiaskan ekspresi antara percaya dan tidak percaya.
            “aku Krysan. Masih inget kan? Dulu kak Rendi manggil aku Rysa, inget? Eh, dulu kita juga pernah dateng ke tempat ini berdua, dan ngerayain hari ulangtahunku bareng!” kataku penuh semangat. Berharap kak Rendi masih mengingatku, dan mengingat semua kenangan kami bersama disini. Kenangan yang sudah terkubur selama bertahun-tahun. Tapi ekspresi yang melekat di wajahnya masih tetap tak berubah.
            “sayang, kamu kenal sama dia?” Shella menatapku tidak nyaman. Kak Rendi menggeleng datar.
            “aku nggak tau, sayang. Kalaupun aku kenal sama dia, kayaknya aku udah lupa,”
            Aku berusaha mencerna kalimat kak Rendi barusan. Udah lupa??
            “maaf ya, tapi kayaknya kamu salah orang. Tunanganku ini namanya emang Rendi. Tapi mungkin bukan Rendi yang sama kayak yang kamu maksud,” Shella menarik tangan kak Rendi. Berusaha menjauhkannya denganku. Aku hanya diam. Aku ingin melakukan sesuatu. Memanggilnya? Berlari lalu menangis di pelukannya? Mengapa harus? Dia tunangan orang. Lagipula dia juga sudah lupa dengan janjinya enam tahun yang lalu.
            Rysa, janji ya, jangan pernah pergi jauh dari aku. aku janji suatu saat nanti aku bakal balik, dan nemuin kamu. Kamu mau kan nunggguin aku?”
            “aku janji,”
            Sekarang, apa aku masih harus berdiri di belakangnya dan terus menunggu? Mungkin seratus tahun lagi dia akan sadar. Dan kembali. Tapi, kalau bersamaku itu artinya membuat dia tidak bahagia, aku akan berusaha merelakannya bahagia. :’)

Komentar