i'm back! :D ini cerpen-ku lagi! hope you like this! {}
Ada saat dimana aku sangat-sangat membutuhkanmu untuk
sekedar berada dalam jarak jangkauan mataku, cukup hanya bisa kulihat saja, aku
tak perlu harus bisa menyentuhmu..
Saat aku merasa diriku serapuh serpihan salju, aku
butuhkan senyummu sebagai penyemangatku :’)
Saat aku merasa seperti dedauan kering yang terbang
tertiup angin, aku butuhkan hadirmu untuk buatku tegar dan bertahan..
Ketika sepi menghampiri, aku tak inginkan kamu ada di
sampingku. Hanya mendengar tawamu saja aku sudah merasa cukup..
Walau aku tau, senyum itu bukan tercipta untukku..
Hadirmu di hari-hariku bukan untuk melengkapi ceritaku..
Bahkan tawa itu tak pernah ada karena aku.. :’)
Masih dan selalu ada air mata dan senyuman ketika aku
mengingatmu..
Karena saat mengingatmu, aku bisa merasakanmu tersimpan
jauh di sudut hatiku..
Tapi, mengingatmu juga membuatku kembali teringat jika aku
bukan siapa-siapa di hidupmu..
Karena aku tak pernah terlihat oleh matamu..
Tak pernah kau dengar aku..
Kamu juga tak pernah menyadari kehadiranku dalam
hidupmu.. :’)
Aku seperti ‘tidak ada’ bagimu, dan itulah yang selalu
aku rasakan selama ini..
Jika saja kamu bisa melihatku saat ini..
Aku ingin kamu melihatku, aku yang masih sama seperti
dulu..
Yang masih berdiri disini, menunggumu.. :”)
Aku ingin kamu mendengarku, mendengar “aku ingin selalu
melihatmu bahagia walau tanpaku, seperti sekarang” :’)
Tapi aku tak ingin kamu menyadari kehadiranku dan
penantian ini :’)
Cukup rasakan aku selalu memelukmu dari jauh, lewat
baris-baris do’aku..
-----
Alunan lagu Bigbang – Blue masih terus menggema di
ruangan ukuran minimalis milikku. Ini sudah kali ke sepuluh lagu ini diputar.
Tapi orang yang kutunggu masih belum juga datang. Mungkin karena gerimis sejak
pukul dua yang belum juga digantikan senja sore.
“..And I will make sure to keep my distance..
Say I love You when you’re not listening..”
Aku beranjak dari sofa dekat jendela dan mulai mencari
hanphoneku. Gotcha! Tenyata ada di bawah tumpukan deadlinenku.
“halo? Bilbi, kamu lagi dimana sih? ... iyaa, iyaa aku keluar!” aku menekan tombol No, kemudian menyambar jaket biru kesayanganku.
“halo? Bilbi, kamu lagi dimana sih? ... iyaa, iyaa aku keluar!” aku menekan tombol No, kemudian menyambar jaket biru kesayanganku.
“maaf ya, aku telat, Na!”
“gapapa, Bi. Kayak kamu nggak biasa telat aja,” sindirku.
“maaf, maaf! Yaudah. Yuk!” Bilbi menyalakan vespa
kesayangannya. Namanya ‘The Great Pumkin’. Terkadang aku sering mendumel
sendiri karena menurutku julukan ‘great’ itu kurang pas untuk vespa antiknya.
Hampir sebulan 4kali Bilbi membawanya check up ke bengkel. Aku pernah menyarankannya
untuk mencari vespa baru, tapi dia bilang Pumkin adalah hidupnya. Dan dia tak
sanggup berpisah dengan vespanya.
Palm Caffee 4 p.m.
Here we are! Duduk di sofa marun Palm Caffee sambil
memesan dua gelas hot chocolate.
“Bi, gimana kabar Andre?” tanyaku saat teringat pacar
Bilbi yang sempat magang di salahsatu perusahaan di luar kota.
“kami udah end, sayang!” jawab Bilbi santai sambil
tersenyum geli. Bilbi memang orang yang cuek. tapi menurutku ini terlalu
berlebihan. Dia sudah bersama Andre 3tahun. Harusnya dia tidak ‘biasa-biasa’
saja seperti ini!
“Bilbi! Serius? Kamu kok nggak cerita sih?” ucapku kesal.
“yaampun, maaf sayaang! Kan kamu lagi sibuk jeprat-jepret
model. Pergi sana-sini buat pemotretan. Mana ada waktu aku buat cerita?” kali
ini Bilbi memasang ekspresi cemberut. Aku jadi merasa bersalah. Memang, waktuku
banyak tersita semenjak aku direkrut sebuah majalah terkenal. Bahkan weekendku
juga harus ku habiskan untuk pemotretan. Saking padatnya, sampai-sampai aku
menelantarkan sahabat semata wayangku.
“maaf ya, darling! Yang sabar ya! Aku percaya kamu pasti
bisa dapet yang lebih baik lagi!”
“udah dapet kali!” celetuknya.
“udah dapet?” aku hampir tersedak hot chocolate. “yang
bener?”
“he’em” dia mengangguk sekali. Dari sorot matanya aku tau
kalau Bilbi sedang tidak berbohong. “namanya Adrian. Belum jadian sih, masih
baru kenal seminggu di toko buku. Orangnya lucu, baik, dewasa, chinesse. Mau
dikenalin?”
“sama Adrian? Iya,iyaa! Aku jadi penasaran, gimana
orangnya..” aku bertepuk tangan penuh semangat.
“maksudku bukan sama Adriannya, tapi sama temennya
Adrian”
“kayaknya kita tadi lagi bahas Adrian deh? Kok jadi
temennya? Oh, kamu naksir temennya Adrian?” responku agak kikuk.
“bukan! Temennya Adrian ada yang single. Kamu mau nggak
aku kenalin? Ntar kan kita bisa double date! Seru kan?” sekarang ganti Bilbi
yang bersemangat. Sementara aku hanya diam.
“kok diem, Na?” Bilbi menatap wajahku serius. Aku
memalingkan pandangan ke arah jalan raya. Bilbi berdecak kesal. “Yuna, mau
sampai kapan kamu nungguin Daffa? Ha? Dia udah ilang! Anggep aja dia udah mati!
Let’s move, Na!”
“aku nggak bisa Bilbi, aku sayang dia!” mataku memanas.
Rasanya seluruh isi hatiku ingin sekali meluap.
“Na, kamu juga harus bisa nerima kenyataan kalau dia
nggak milih kamu”
“aku nggak bisa, Bilbi. Please jangan nyiksa aku dengan
nyuruh aku buat nyari pengganti dia,” aku menatap Bilbi nanar. Luka itu. Aku
kembali tersadar akan kehadirannya. Luka yang sudah membuat hatiku tergores.
Perih.
“Yuna,” Bilbi menghapus air mataku. “kamu mau nunggu cinta
monyet SMP-mu itu sampai kapan? Sampai kamu capek? Udah sepuluh tahun, Na.
Sadar! Ini cuma bikin kamu terluka. Aku nggak bisa liat kamu gini terus!”
“aku percaya, suatu saat nanti dia bakal sadar kalau aku
tetep disini, nungguin dia. Dan nanti kita akan bersama lagi! Aku percaya, Bi!”
-----
“aku ingin terus berlari, lari, dan lari. Mengejarmu.
Sampai pada akhirnya kaki-kaki mungilku terlalu lelah untuk mencapaimu..”
November’5 foodcourt 9:28 a.m.
Aku duduk di salah satu meja foodcourt. Di depanku Bilbi
sedang senyum-senyum sambil memelototi gadgetnya. Ya, kami menunggu Adrian dan
temannya. Entah, siapa itu namanya. Aku kurang peduli. Ini semua demi Bilbi.
Kalau saja Bilbi tidak menagis sepulang kami dari Palm Caffee, pasti aku takkan
berada disini, bosan, dan mengaduk-aduk siomay!
“Bilbi!”
panggil suara berat dari arah belakangku. Bilbi mendongak, wajahnya sumringah.
Ah, ini pasti Adrian dan temannya itu. Aku tetap cuek. Tak ingin melihat
mereka. Biar nanti aku melihat mereka saat Bilbi memperkenalkanku saja.
“Adrian,
Deffa!” pekik Bilbi. Oh, jadi namanya Deffa.
“udah
lama? Maaf ya!” ucap Adrian, ku kira. Karena feelingku berkata demikian.
“enggak
kok! Baru aja. Liat tuh, siomaynya Yuna aja masih utuh!” jawab Bilbi bohong.
Arrrghhh! 2jam garing disini, dan Bilbi bilang ‘baru saja’? Oh, begitu
menyebalkannya dia! Padahal dia sendiri sudah habis 2gelas milkshake melon!
“eh, iya. Adrian, Deffa...”
“sorry,
aku Daffa, bukan Deffa,” ralat teman Adrian. Ha? Daffa? Deg!
Mungkinkah...
“ah,
iya-iya! Maaf! Kenalin, ini sahabatku Yuna,”
Aku
berdiri, kemudian memutar badanku perlahan. Daffa?!
“hai,
aku Adrian,” adrian mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya.
“aku
Daffa, temennya Adrian” giliran Daffa mengulurkan tangannya. Aku hanya bisa
melihatnya cukup lama. Sampai Bilbi menyikutku dan menyadarkanku kalau ini
bukan mimpi. Terpaksa aku menyambut ulurannya. Cepat, dan kaku. Rasanya tubuhku
membeku setelah bersentuhan dengan telapak tangannya.
“mau
pesen apa?” tanya Bilbi mencairkan suasana yang sempat canggung.
“aku
batagor sama milkshake melon aja deh,” jawab Adrian.
“kok
selera kita sama ya?” Bilbi terdengar interest. “kalian apa, Na, Daff?” .
Betapa bencinya aku saat Bilbi menggabungkan namaku dengan namanya sehingga terdengar
seperti akronim yang aneh.
“iced
cappucino aja,” jawabku singkat.
“kalo
gitu iced cappucinonya dua ya!” jawab Daffa mengulang pesananku. Aku melihatnya
aneh. Tapi dia memang aneh. Dia berubah.
-----
“Habis ini mau main kemana? Bosen kan kalo cuma
jalan-jalan doang!” tanya Adrian pada Bilbi dan aku.
“aku
sih, terserah Mrs.Boss aja,” ujarku dengan nada pasrah. Bilbi malah tertawa.
“kalau
gitu kita naik bianglala aja! Gimana?” usul Adrian.
“jangan!”
responku cepat.
“lho?
Kenapa?” Adrian menatapku heran.
“Yuna
phobia...” tiba-tiba Bilbi dan Daffa berbicara bebarengan. Kalimat mereka
sama-sama menggantung begitu saja. Hening. Aneh. Dan Daffa terlihat salah
tingkah.
“aku
phobia ketinggian,”
“yaudah,
aku sama Adrian naik bianglala. Kamu diem disini aja sama Daffa!” Bilbi
tersenyum senang. Sambil mengerling ke arahku dan Daffa.
Bilbi
dan Adrian berlalu. Aku berjalan meninggalkan Daffa lalu duduk di kursi taman.
Mungkinkah itu benar-benar dia? Atau mungkin ini semua hanya kebetulan saja?
Kalau ini hanya kebetulan, kenapa dia tau kalau aku phobia ketinggian?
“mau
permen kapas?” tiba-tiba Daffa berdiri di depanku membawa gula kapas berwarna
toska, warna kesukaanku.
“makasih,
tapi aku nggak suka permen kapas,” jawabku bohong.
“jangan
bohongin aku, nggak ada gunanya. Nih!” Daffa tersenyum tulus. Sepertinya tidak
salah lagi, ini Daffa yang aku kenal. Daffa yang kutuggu sekian lama. Dan
sekarang, dia ada di sebelahku. Sedang duduk bersamaku.
“apa
kabar, Na?” tanyanya.
“baik,
kamu?”
“nggak
pernah sebaik hari ini,” lagi-lagi dia tersenyum. “long time no see, yah!”
Aku
hanya mengangguk. Entah, apa yang sedang terjadi padaku. Tapi yang pasti aku
merasa canggung, malu, atau lebih pasnya disebut ‘salah tingkah’. Baca :
SALTING.
“sekarang
kamu kerja dimana? Kata Bilbi kamu jadi fotografer handal ya?”
“enggak,
Bilbi aja yang terlalu berlebihan. cuma fotografer majalah kok,” oh Tuhan,
kenapa bicara seperti ini saja suhu tubuhku terasa meningkat drastis ya?
“aku
tau, kamu bisa, Na. Kamu selalu jadi inspirasiku,”
“eh?
Masa’ sih?” jawabku tak percaya. Mukaku bersemu merah muda. Ada desir yang tak
biasa disana. Di hatiku. Seperti sepuluh tahun lalu.
-----
“HAH? Maksud kamu, dia Daffa yang aku bilang udah mati
itu?” Bilbi melonjak dari kursi dan langsung berlari ke arahku.
“iya,
makasih ya udah kamu temuin sama dia!” jawabku dengan anggukan mantap. Tak
kusangka, jawabanku malah membuat Bilbi mematung. Aku menggerak-gerakkan
tanganku di depan wajahnya.
“kamu
pasti bohong! Yuna, bilang sama aku, kalo’ ini nggak mungkin!”
“Bilbi,
it’s happening! It’s real! Really real! Puas?” aku tertawa kecil. Kenapa Bilbi
jadi aneh begini? Bukannya seharusnya dia senang melihat aku bahagia lagi?
“kamu
inget kan, dulu aku punya cita-cita pengen nampar muka plus maki-maki cowok
yang udah bikin kamu sakit hati?”
“sssshhh!
Udah nggak perlu lagi, Bi. Kamu mau bikin aku sedih cuma gara-gara kamu
berantem sama Daffa?”
“enggak”
“yaudah!
Mau es krim nggak? Aku punya yang rasa pisang!” tawarku. Aku tau Bilbi takkan
menolak jika aku sudah menawarinya es krim. Apalagi rasa pisang!
Kami
duduk di teras belakang rumahku. Menikmati suasana sore bersama semangkuk besar
es krim pisang-anggur. Sambil memperhatikan ikan koi yang berenang di kolam
kecil.
“Na,
kamu tau nggak? Sebenernya kamu sama Daffa lumayan serasi juga!” celetuk Bilbi
tiba-tiba.
“serius,
Bi? Masa’ sih?”
“idih,
dibilangin juga! Eh, kenapa kalian nggak balikan aja sih?”
Balikan?
Kata itu membuat telingaku berdengung. Dulu aku mendambakan bisa kembali
bersama dengan Daffa. Tapi kenapa sekarang rasanaya aneh sekali mendengar kata
balikan? Rasanya asing. Apa ini efek dari terlalu lama sendiri?
-----
January’21 Cinema
Aku merapikan ujung kemeja ungu pastelku. Hari ini aku
ada janji nonton dengan Daffa. Ini reccomend dari Bilbi yang entah kenapa beberapa
bulan belakangan malah gencar-gencarnya menjodohkan aku dengan Daffa. Ku lirik
jam rip curl oranye yang melilit di pergelangan kiriku. 12:46, sebentar lagi
film-nya akan diputar. Dan Daffa belum juga datang. Aku mengedarkan pandangan.
Siapa tahu aku bisa menangkap wajahnya diantara banyak orang yang berlalu
lalang. Nihil. Sampai 12:58 Daffa belum juga datang. Aku mengembuskan nafas
panjang. Atau jangan-jangan Daffa lupa kalau hari ini dia ada janji nonton
denganku? Aku memutuskan duduk di bangku panjang. Sambil terus mengawasi
sekitar.
---
Aku
kembali teringat pertemuan terakhirku dengan Daffa. Dia mengajakku naik perahu
di danau. Kami bercerita banyak sekali. Tentang kehidupan masing-masing setelah
kami memutuskan untuk berpisah sepuluh tahun lalu. Saat aku masih berusia
13tahun. Aku menceritakan hidupku yang gelap tanpanya. Semua perjuanganku yang
berusaha menghapus semua kenangan kita dan dia.
“Yuna,”
panggil Daffa tanpa ku sangka.
“ya?”
“maaf,”
“maaf
untuk apa, Daffa? Kamu nggak salah!”
“maaf
karena sudah membiarkanmu menunggu terlalu lama. Aku janji nggak akan ninggalin
kamu lagi. I promise!” Daffa meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.
“jangan
bikin janji yang kamu sendiri belum tau bisa menepati atau enggak, Daffa. Aku
nggak maksa kamu untuk balik sama aku. Aku bukan yang terbaik buat kamu. Dan
aku nggak pernah bermimpi terlalu tinggi untuk bisa dapetin kamu lagi,”
“sshhh!
But you get me now! Aku tau ini terlambat. Tapi, aku harap ini bisa merubah
pandanganmu tentangku. Kamu yang aku cari, Na. Aku nggak ingin kehilangan kamu
untuk yang kesekian kali. Aku sayang kamu!”
---
Jarum
jam hampir menunjuk angka 8 dan 10. Sepertinya perkataan Bilbi yang mengatakan
jika aku bodoh itu benar. Aku memang orang terbodoh, yang bisa-bisanya menunggu
seseorang di depan gedung bioskop selama 7 jam! Kalau seperti ini, jelas saja
Daffa tak mungin datang. Lebih baik aku berjalan mencari makan malam. Perutku
sudah merengek minta diisi gara-gara sejak siang aku belum makan.
Aku
mampir ke rumah makan yang jaraknya tak jauh dari gedung bioskop. Kebetulan
tempat ini termasuk favoritku dan Bilbi. Aku memilih duduk di dekat jendela.
Agar bisa menikmati suasana malam di jalan.
Tiba-tiba
aku mencium bau yang khas. Bau parfum Daffa. Tidak, tidak mungkin ini Daffa!
Seorang laki-laki berjalan dari arah belakangku. Memakai kemeja abu-abu.
Potongan rambutnya mirip dengan... astaga! Daffa! Itu Daffa! Dia duduk
di salah satu meja yang tak jauh dari mejaku. Di sana juga ada mama dan papa
Daffa. Lalu, seorang wanita cantik dengan dress berwarna peach dan sepertinya
itu kedua orang tua wanita itu. Mungkinkah...?
“kenapa
lama sekali, Daff? Denna kan sudah lama menunggu,” tegur mama Deffa halus.
“maaf
ma,” jawab Daffa cuek dengan mimik datar. Bahkan cenderung tidak tertarik.
“jangan
minta maaf sama mama dong, Daff. Sama Denna tuh!” sekarang ganti papanya Daffa
yang angkat bicara.
“ah, Denna
nggak papa kok om,” jawab cewek yang dipanggil Denna itu sambil tersenyum.
Aku
berusaha menguatkan diri. Mungkin aku sedang salah pahan. Tidak mungkin Daffa
membatalkan acara nonton denganku karena dia sedang dijodohkan.
“ndak
terasa ya, bentar lagi kita berbesan!” ujar mamanya Denna. Besan?
Apa aku nggak salah dengar?
“iya,
jadi menurut kalian berdua, kapan tanggalnya? Denna, kamu sudah punya rencana?”
mama Daffa terdengar antusias.
“kalau Denna
sih, terserah mas Daffa saja,” jawab Denna kalem. Tiba-tiba ada rasa perih di
hatiku. Iri-kah ini? Aku merasa dia adalah sosok yang begitu sempurna. Terlihat
sangat pas dan serasi jika bersanding dengan Daffa. Seketika hatiku remuk.
Seluruh tubuhku mati rasa. Tidak mungkin salah lagi. Daffa dijodohkan!
“aku
belum siap,” ralat Daffa cepat.
“ah,
nggak baik menunda-nunda. Iya kan, Pa?” tanya mama Daffa kepada papanya Daffa yang
sedari tadi sibuk menikmati makan malamnya.
“ah,
iya! Mama dan papa kan sudah tua. Ingin cepat-cepat menggendong cucu,” kata
papa Daffa frontal. Disusul anggukan istrinya yang mengamini.
Rasanya
sakit. Remuk. Hancur. Nanar. Semuanya jadi satu. Bahkan saat pramusaji
menghidangkan makanan di mejaku, aku tak menghiraukannya sama sekali. Mataku
hanya menatap kosong ke arah meja Daffa. Sedangkan telingaku mendengarkan
setiap pembicaraan yang mereka bicarakan. Tapi lama-lama aku tak bisa bertahan
juga. Mendengar nada-nada bahagia yang jelas terlontar begitu saja oleh kedua
orangtua Daffa dan Denna. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang dan
meninggalkan rumah makan. Entah kenapa, selera makanku menguap begitu saja.
Mungkin
memang benar. Daffa diciptakan bukan untukku. Dan aku diciptakan bukan untuk
memiliki Daffa. Bilbi benar. “Ini cuma bikin aku terluka”.
-----
September’18 pantai Losari, Makassar
Hanya aku dan DSLR kesayanganku. Ya, aku sengaja mengambil
cuti beberapa bulan hanya berdua dengan DSLR-ku. Bilbi yang mengurusi seluruh
keperluanku selama berlibur. Mulai dari baju, tiket, sampai kendaraan. Tapi
sayangnya dia tidak bisa ikut. Bulan depan dia akan menikah dengan Adrian.
Mungkin kedengarannya agak konyol karena mereka baru saja saling mengenal. Tapi,
ternyata takdir berkata lain. Adrian adalah anak sahabat mamanya Bilbi. Jadi
tak perlu waktu lama untuk mereka menentukan. Dan akhirnya, here i am!
Sendirian menikmati libur panjang.
Aku
mengeluarkan kertas putih tulang dari saku jaketku. Aku baru saja menerimanya
dua hari yang lalu. Di bagian depannya diukir dengan tinta emas. Tertulis :
“Daffa & Denna”. Aku tersenyum sekilas. Semoga kamu bahagia, Daffa.
Ku buka halaman pertama undangan pernikahan itu. Disana ada foto Daffa dan
Denna. Memakai gaun pengantin putih, Denna terlihat cantik. Daffa berdiri di
sebelahnya dengan gaya cueknya. Andaikan aku yang ada disana. Berdiri di
samping Daffa. Memakai gaun pengantin. Mungkin sekarang aku sedang duduk di
sebelah Daffa. Mendengarnya mengucap ijab kabul. Ah.. untuk apa aku
berangan-angan terlalu jauh? Daffa sekarang sudah resmi menjadi suami orang.
Rasanya tak pantas aku menyimpan keinginan seperti itu. Hanya akan membuatku
terluka. Kuremas kertas undangan itu sampai membentuk bola nyaris sempurna.
Kemudian ku lempar sejauh mungkin ke laut lepas. Berharap rasa sakit hati dan
perasaan yang tak terbalas juga ikut berenang dan akhirnya hilang ditelan laut.
“kok
undangannya dibuang?”
“percuma.
Toh, aku juga nggak datang kan? Buat apa disimpan?” jawabku tanpa menoleh
kepada si penanya.
“iya
juga sih. Buat apa nyimpen undangan itu. Acaranya aja dibatalin,”
“sok tau
banget! Emangnya kamu siapanya dia? Emangnya kamu tau siapa yang menikah?
Emangnya kamu dateng ke acaranya? Dan emangnya kamu siapa pake dateng kesini, dan
sok tau gitu ke aku?” kataku ketus. Orang ini benar-benar menyebalkan. Tapi aku
enggan menampakkan wajahku yang kini sedang dibanjiri air mata.
“aku orang
yang lagi ada di fikiranmu!”
“ha-ha!
Lucu sekali!” aku sengaja membuat tawaku terdengar mengejek. Isyarat agar the
stranger ini diam! Tidak mungkin sekali Daffa saat ini berada disini dan
bicara denganku. Dia kan sedang menikah.
“aku
nggak bisa menikah sama orang yang nggak aku cintai, Na. Aku nggak bisa menikah
sama orang selain kamu!”
Aku
memutar badan 180° menghadap ke arah si ‘stranger’. “Daffa?” panggilku dengan
suara yang hampir tak terdengar. Smentara yang dipanggil hanya diam dan
tersenyum. Oh my God! Dia di sini! Di sini! Di depanku tepat. Tak ada
baju pengantin. Dan tanpa.. Denna. Apa aku sedang bermimpi?
Aku
mengusap-usap mataku yang basah berkali-kali. Berharap pandanganku tak sedang
kabur karena air mata. Tapi, sejak kapan baju pengantin berubah gaya jadi kaos
putih dan celana jeans ¾? Sepatu formal mengkilap jadi sandal?
Daffa
tertawa. Tawa khas yang hangat dan ramah. Dia berjalan mendekat dan menarikku
dalam dekapannya. Jemarinya menyusup diantara helai-helai rambutku yang
kubiarkan tergerai dan tertiup angin pantai.
“just be
near me, Yuna. Don’t go away! Don’t leave me alone again. If you do it, i’ll
die!”
“i never
do that, Daffa. Don’t you see? I’ve been so long stand here, just waiting for
you, for your coming to me,”
Can't you see that I'm the one who understands you?
Been here all along, so why can't you see?
You belong with me
Taylor Swift – You Belong with Me
Komentar
Posting Komentar