Penantian :’)


i'm back! :D ini cerpen-ku lagi! hope you like this! {}

Ada saat dimana aku sangat-sangat membutuhkanmu untuk sekedar berada dalam jarak jangkauan mataku, cukup hanya bisa kulihat saja, aku tak perlu harus bisa menyentuhmu..
Saat aku merasa diriku serapuh serpihan salju, aku butuhkan senyummu sebagai penyemangatku :’)
Saat aku merasa seperti dedauan kering yang terbang tertiup angin, aku butuhkan hadirmu untuk buatku tegar dan bertahan..
Ketika sepi menghampiri, aku tak inginkan kamu ada di sampingku. Hanya mendengar tawamu saja aku sudah merasa cukup..

Walau aku tau, senyum itu bukan tercipta untukku..
Hadirmu di hari-hariku bukan untuk melengkapi ceritaku..
Bahkan tawa itu tak pernah ada karena aku.. :’)

Masih dan selalu ada air mata dan senyuman ketika aku mengingatmu..
Karena saat mengingatmu, aku bisa merasakanmu tersimpan jauh di sudut hatiku..
Tapi, mengingatmu juga membuatku kembali teringat jika aku bukan siapa-siapa di hidupmu..

Karena aku tak pernah terlihat oleh matamu..
Tak pernah kau dengar aku..
Kamu juga tak pernah menyadari kehadiranku dalam hidupmu.. :’)
Aku seperti ‘tidak ada’ bagimu, dan itulah yang selalu aku rasakan selama ini..

Jika saja kamu bisa melihatku saat ini..
Aku ingin kamu melihatku, aku yang masih sama seperti dulu..
Yang masih berdiri disini, menunggumu.. :”)
Aku ingin kamu mendengarku, mendengar “aku ingin selalu melihatmu bahagia walau tanpaku, seperti sekarang” :’)
Tapi aku tak ingin kamu menyadari kehadiranku dan penantian ini :’)
Cukup rasakan aku selalu memelukmu dari jauh, lewat baris-baris do’aku..

-----

Alunan lagu Bigbang – Blue masih terus menggema di ruangan ukuran minimalis milikku. Ini sudah kali ke sepuluh lagu ini diputar. Tapi orang yang kutunggu masih belum juga datang. Mungkin karena gerimis sejak pukul dua yang belum juga digantikan senja sore.

“..And I will make sure to keep my distance..
Say I love You when you’re not listening..”

Aku beranjak dari sofa dekat jendela dan mulai mencari hanphoneku. Gotcha! Tenyata ada di bawah tumpukan deadlinenku.
“halo? Bilbi, kamu lagi dimana sih? ... iyaa, iyaa aku keluar!” aku menekan tombol No, kemudian menyambar jaket biru kesayanganku.
“maaf ya, aku telat, Na!”
“gapapa, Bi. Kayak kamu nggak biasa telat aja,” sindirku.
“maaf, maaf! Yaudah. Yuk!” Bilbi menyalakan vespa kesayangannya. Namanya ‘The Great Pumkin’. Terkadang aku sering mendumel sendiri karena menurutku julukan ‘great’ itu kurang pas untuk vespa antiknya. Hampir sebulan 4kali Bilbi membawanya check up ke bengkel. Aku pernah menyarankannya untuk mencari vespa baru, tapi dia bilang Pumkin adalah hidupnya. Dan dia tak sanggup berpisah dengan vespanya.

Palm Caffee 4 p.m.
Here we are! Duduk di sofa marun Palm Caffee sambil memesan dua gelas hot chocolate.
“Bi, gimana kabar Andre?” tanyaku saat teringat pacar Bilbi yang sempat magang di salahsatu perusahaan di luar kota.
“kami udah end, sayang!” jawab Bilbi santai sambil tersenyum geli. Bilbi memang orang yang cuek. tapi menurutku ini terlalu berlebihan. Dia sudah bersama Andre 3tahun. Harusnya dia tidak ‘biasa-biasa’ saja seperti ini!
“Bilbi! Serius? Kamu kok nggak cerita sih?” ucapku kesal.
“yaampun, maaf sayaang! Kan kamu lagi sibuk jeprat-jepret model. Pergi sana-sini buat pemotretan. Mana ada waktu aku buat cerita?” kali ini Bilbi memasang ekspresi cemberut. Aku jadi merasa bersalah. Memang, waktuku banyak tersita semenjak aku direkrut sebuah majalah terkenal. Bahkan weekendku juga harus ku habiskan untuk pemotretan. Saking padatnya, sampai-sampai aku menelantarkan sahabat semata wayangku.
“maaf ya, darling! Yang sabar ya! Aku percaya kamu pasti bisa dapet yang lebih baik lagi!”
“udah dapet kali!” celetuknya.
“udah dapet?” aku hampir tersedak hot chocolate. “yang bener?”
“he’em” dia mengangguk sekali. Dari sorot matanya aku tau kalau Bilbi sedang tidak berbohong. “namanya Adrian. Belum jadian sih, masih baru kenal seminggu di toko buku. Orangnya lucu, baik, dewasa, chinesse. Mau dikenalin?”
“sama Adrian? Iya,iyaa! Aku jadi penasaran, gimana orangnya..” aku bertepuk tangan penuh semangat.
“maksudku bukan sama Adriannya, tapi sama temennya Adrian”
“kayaknya kita tadi lagi bahas Adrian deh? Kok jadi temennya? Oh, kamu naksir temennya Adrian?” responku agak kikuk.
“bukan! Temennya Adrian ada yang single. Kamu mau nggak aku kenalin? Ntar kan kita bisa double date! Seru kan?” sekarang ganti Bilbi yang bersemangat. Sementara aku hanya diam.
“kok diem, Na?” Bilbi menatap wajahku serius. Aku memalingkan pandangan ke arah jalan raya. Bilbi berdecak kesal. “Yuna, mau sampai kapan kamu nungguin Daffa? Ha? Dia udah ilang! Anggep aja dia udah mati! Let’s move, Na!”
“aku nggak bisa Bilbi, aku sayang dia!” mataku memanas. Rasanya seluruh isi hatiku ingin sekali meluap.
“Na, kamu juga harus bisa nerima kenyataan kalau dia nggak milih kamu”
“aku nggak bisa, Bilbi. Please jangan nyiksa aku dengan nyuruh aku buat nyari pengganti dia,” aku menatap Bilbi nanar. Luka itu. Aku kembali tersadar akan kehadirannya. Luka yang sudah membuat hatiku tergores. Perih.
“Yuna,” Bilbi menghapus air mataku. “kamu mau nunggu cinta monyet SMP-mu itu sampai kapan? Sampai kamu capek? Udah sepuluh tahun, Na. Sadar! Ini cuma bikin kamu terluka. Aku nggak bisa liat kamu gini terus!”
“aku percaya, suatu saat nanti dia bakal sadar kalau aku tetep disini, nungguin dia. Dan nanti kita akan bersama lagi! Aku percaya, Bi!”

-----

“aku ingin terus berlari, lari, dan lari. Mengejarmu. Sampai pada akhirnya kaki-kaki mungilku terlalu lelah untuk mencapaimu..”

November’5 foodcourt 9:28 a.m.
Aku duduk di salah satu meja foodcourt. Di depanku Bilbi sedang senyum-senyum sambil memelototi gadgetnya. Ya, kami menunggu Adrian dan temannya. Entah, siapa itu namanya. Aku kurang peduli. Ini semua demi Bilbi. Kalau saja Bilbi tidak menagis sepulang kami dari Palm Caffee, pasti aku takkan berada disini, bosan, dan mengaduk-aduk siomay!
            “Bilbi!” panggil suara berat dari arah belakangku. Bilbi mendongak, wajahnya sumringah. Ah, ini pasti Adrian dan temannya itu. Aku tetap cuek. Tak ingin melihat mereka. Biar nanti aku melihat mereka saat Bilbi memperkenalkanku saja.
            “Adrian, Deffa!” pekik Bilbi. Oh, jadi namanya Deffa.
            “udah lama? Maaf ya!” ucap Adrian, ku kira. Karena feelingku berkata demikian.
            “enggak kok! Baru aja. Liat tuh, siomaynya Yuna aja masih utuh!” jawab Bilbi bohong. Arrrghhh! 2jam garing disini, dan Bilbi bilang ‘baru saja’? Oh, begitu menyebalkannya dia! Padahal dia sendiri sudah habis 2gelas milkshake melon! “eh, iya. Adrian, Deffa...”
            “sorry, aku Daffa, bukan Deffa,” ralat teman Adrian. Ha? Daffa? Deg! Mungkinkah...
            “ah, iya-iya! Maaf! Kenalin, ini sahabatku Yuna,”
            Aku berdiri, kemudian memutar badanku perlahan. Daffa?!
            “hai, aku Adrian,” adrian mengulurkan tangannya. Aku menjabatnya.
            “aku Daffa, temennya Adrian” giliran Daffa mengulurkan tangannya. Aku hanya bisa melihatnya cukup lama. Sampai Bilbi menyikutku dan menyadarkanku kalau ini bukan mimpi. Terpaksa aku menyambut ulurannya. Cepat, dan kaku. Rasanya tubuhku membeku setelah bersentuhan dengan telapak tangannya.
            “mau pesen apa?” tanya Bilbi mencairkan suasana yang sempat canggung.
            “aku batagor sama milkshake melon aja deh,” jawab Adrian.
            “kok selera kita sama ya?” Bilbi terdengar interest. “kalian apa, Na, Daff?” . Betapa bencinya aku saat Bilbi menggabungkan namaku dengan namanya sehingga terdengar seperti akronim yang aneh.
            “iced cappucino aja,” jawabku singkat.
            “kalo gitu iced cappucinonya dua ya!” jawab Daffa mengulang pesananku. Aku melihatnya aneh. Tapi dia memang aneh. Dia berubah.

-----

“Habis ini mau main kemana? Bosen kan kalo cuma jalan-jalan doang!” tanya Adrian pada Bilbi dan aku.
            “aku sih, terserah Mrs.Boss aja,” ujarku dengan nada pasrah. Bilbi malah tertawa.
            “kalau gitu kita naik bianglala aja! Gimana?” usul Adrian.
            “jangan!” responku cepat.
            “lho? Kenapa?” Adrian menatapku heran.
            “Yuna phobia...” tiba-tiba Bilbi dan Daffa berbicara bebarengan. Kalimat mereka sama-sama menggantung begitu saja. Hening. Aneh. Dan Daffa terlihat salah tingkah.
            “aku phobia ketinggian,”
            “yaudah, aku sama Adrian naik bianglala. Kamu diem disini aja sama Daffa!” Bilbi tersenyum senang. Sambil mengerling ke arahku dan Daffa.
            Bilbi dan Adrian berlalu. Aku berjalan meninggalkan Daffa lalu duduk di kursi taman. Mungkinkah itu benar-benar dia? Atau mungkin ini semua hanya kebetulan saja? Kalau ini hanya kebetulan, kenapa dia tau kalau aku phobia ketinggian?
            “mau permen kapas?” tiba-tiba Daffa berdiri di depanku membawa gula kapas berwarna toska, warna kesukaanku.
            “makasih, tapi aku nggak suka permen kapas,” jawabku bohong.
            “jangan bohongin aku, nggak ada gunanya. Nih!” Daffa tersenyum tulus. Sepertinya tidak salah lagi, ini Daffa yang aku kenal. Daffa yang kutuggu sekian lama. Dan sekarang, dia ada di sebelahku. Sedang duduk bersamaku.
            “apa kabar, Na?” tanyanya.
            “baik, kamu?”
            “nggak pernah sebaik hari ini,” lagi-lagi dia tersenyum. “long time no see, yah!”
            Aku hanya mengangguk. Entah, apa yang sedang terjadi padaku. Tapi yang pasti aku merasa canggung, malu, atau lebih pasnya disebut ‘salah tingkah’. Baca : SALTING.
            “sekarang kamu kerja dimana? Kata Bilbi kamu jadi fotografer handal ya?”
            “enggak, Bilbi aja yang terlalu berlebihan. cuma fotografer majalah kok,” oh Tuhan, kenapa bicara seperti ini saja suhu tubuhku terasa meningkat drastis ya?
            “aku tau, kamu bisa, Na. Kamu selalu jadi inspirasiku,”
            “eh? Masa’ sih?” jawabku tak percaya. Mukaku bersemu merah muda. Ada desir yang tak biasa disana. Di hatiku. Seperti sepuluh tahun lalu.

-----

“HAH? Maksud kamu, dia Daffa yang aku bilang udah mati itu?” Bilbi melonjak dari kursi dan langsung berlari ke arahku.
            “iya, makasih ya udah kamu temuin sama dia!” jawabku dengan anggukan mantap. Tak kusangka, jawabanku malah membuat Bilbi mematung. Aku menggerak-gerakkan tanganku di depan wajahnya.
            “kamu pasti bohong! Yuna, bilang sama aku, kalo’ ini nggak mungkin!”
            “Bilbi, it’s happening! It’s real! Really real! Puas?” aku tertawa kecil. Kenapa Bilbi jadi aneh begini? Bukannya seharusnya dia senang melihat aku bahagia lagi?
            “kamu inget kan, dulu aku punya cita-cita pengen nampar muka plus maki-maki cowok yang udah bikin kamu sakit hati?”
            “sssshhh! Udah nggak perlu lagi, Bi. Kamu mau bikin aku sedih cuma gara-gara kamu berantem sama Daffa?”
            “enggak”
            “yaudah! Mau es krim nggak? Aku punya yang rasa pisang!” tawarku. Aku tau Bilbi takkan menolak jika aku sudah menawarinya es krim. Apalagi rasa pisang!
            Kami duduk di teras belakang rumahku. Menikmati suasana sore bersama semangkuk besar es krim pisang-anggur. Sambil memperhatikan ikan koi yang berenang di kolam kecil.
            “Na, kamu tau nggak? Sebenernya kamu sama Daffa lumayan serasi juga!” celetuk Bilbi tiba-tiba.
            “serius, Bi? Masa’ sih?”
            “idih, dibilangin juga! Eh, kenapa kalian nggak balikan aja sih?”
            Balikan? Kata itu membuat telingaku berdengung. Dulu aku mendambakan bisa kembali bersama dengan Daffa. Tapi kenapa sekarang rasanaya aneh sekali mendengar kata balikan? Rasanya asing. Apa ini efek dari terlalu lama sendiri?

-----

January’21 Cinema
Aku merapikan ujung kemeja ungu pastelku. Hari ini aku ada janji nonton dengan Daffa. Ini reccomend dari Bilbi yang entah kenapa beberapa bulan belakangan malah gencar-gencarnya menjodohkan aku dengan Daffa. Ku lirik jam rip curl oranye yang melilit di pergelangan kiriku. 12:46, sebentar lagi film-nya akan diputar. Dan Daffa belum juga datang. Aku mengedarkan pandangan. Siapa tahu aku bisa menangkap wajahnya diantara banyak orang yang berlalu lalang. Nihil. Sampai 12:58 Daffa belum juga datang. Aku mengembuskan nafas panjang. Atau jangan-jangan Daffa lupa kalau hari ini dia ada janji nonton denganku? Aku memutuskan duduk di bangku panjang. Sambil terus mengawasi sekitar.

---
            Aku kembali teringat pertemuan terakhirku dengan Daffa. Dia mengajakku naik perahu di danau. Kami bercerita banyak sekali. Tentang kehidupan masing-masing setelah kami memutuskan untuk berpisah sepuluh tahun lalu. Saat aku masih berusia 13tahun. Aku menceritakan hidupku yang gelap tanpanya. Semua perjuanganku yang berusaha menghapus semua kenangan kita dan dia.
            “Yuna,” panggil Daffa tanpa ku sangka.
            “ya?”
            “maaf,”
            “maaf untuk apa, Daffa? Kamu nggak salah!”
            “maaf karena sudah membiarkanmu menunggu terlalu lama. Aku janji nggak akan ninggalin kamu lagi. I promise!” Daffa meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.
            “jangan bikin janji yang kamu sendiri belum tau bisa menepati atau enggak, Daffa. Aku nggak maksa kamu untuk balik sama aku. Aku bukan yang terbaik buat kamu. Dan aku nggak pernah bermimpi terlalu tinggi untuk bisa dapetin kamu lagi,”
            “sshhh! But you get me now! Aku tau ini terlambat. Tapi, aku harap ini bisa merubah pandanganmu tentangku. Kamu yang aku cari, Na. Aku nggak ingin kehilangan kamu untuk yang kesekian kali. Aku sayang kamu!”

---
            Jarum jam hampir menunjuk angka 8 dan 10. Sepertinya perkataan Bilbi yang mengatakan jika aku bodoh itu benar. Aku memang orang terbodoh, yang bisa-bisanya menunggu seseorang di depan gedung bioskop selama 7 jam! Kalau seperti ini, jelas saja Daffa tak mungin datang. Lebih baik aku berjalan mencari makan malam. Perutku sudah merengek minta diisi gara-gara sejak siang aku belum makan.
            Aku mampir ke rumah makan yang jaraknya tak jauh dari gedung bioskop. Kebetulan tempat ini termasuk favoritku dan Bilbi. Aku memilih duduk di dekat jendela. Agar bisa menikmati suasana malam di jalan.
            Tiba-tiba aku mencium bau yang khas. Bau parfum Daffa. Tidak, tidak mungkin ini Daffa! Seorang laki-laki berjalan dari arah belakangku. Memakai kemeja abu-abu. Potongan rambutnya mirip dengan... astaga! Daffa! Itu Daffa! Dia duduk di salah satu meja yang tak jauh dari mejaku. Di sana juga ada mama dan papa Daffa. Lalu, seorang wanita cantik dengan dress berwarna peach dan sepertinya itu kedua orang tua wanita itu. Mungkinkah...?
            “kenapa lama sekali, Daff? Denna kan sudah lama menunggu,” tegur mama Deffa halus.
            “maaf ma,” jawab Daffa cuek dengan mimik datar. Bahkan cenderung tidak tertarik.
            “jangan minta maaf sama mama dong, Daff. Sama Denna tuh!” sekarang ganti papanya Daffa yang angkat bicara.
            “ah, Denna nggak papa kok om,” jawab cewek yang dipanggil Denna itu sambil tersenyum.
            Aku berusaha menguatkan diri. Mungkin aku sedang salah pahan. Tidak mungkin Daffa membatalkan acara nonton denganku karena dia sedang dijodohkan.
            “ndak terasa ya, bentar lagi kita berbesan!” ujar mamanya Denna. Besan? Apa aku nggak salah dengar?
            “iya, jadi menurut kalian berdua, kapan tanggalnya? Denna, kamu sudah punya rencana?” mama Daffa terdengar antusias.
            “kalau Denna sih, terserah mas Daffa saja,” jawab Denna kalem. Tiba-tiba ada rasa perih di hatiku. Iri-kah ini? Aku merasa dia adalah sosok yang begitu sempurna. Terlihat sangat pas dan serasi jika bersanding dengan Daffa. Seketika hatiku remuk. Seluruh tubuhku mati rasa. Tidak mungkin salah lagi. Daffa dijodohkan!
            “aku belum siap,” ralat Daffa cepat.
            “ah, nggak baik menunda-nunda. Iya kan, Pa?” tanya mama Daffa kepada papanya Daffa yang sedari tadi sibuk menikmati makan malamnya.
            “ah, iya! Mama dan papa kan sudah tua. Ingin cepat-cepat menggendong cucu,” kata papa Daffa frontal. Disusul anggukan istrinya yang mengamini.
            Rasanya sakit. Remuk. Hancur. Nanar. Semuanya jadi satu. Bahkan saat pramusaji menghidangkan makanan di mejaku, aku tak menghiraukannya sama sekali. Mataku hanya menatap kosong ke arah meja Daffa. Sedangkan telingaku mendengarkan setiap pembicaraan yang mereka bicarakan. Tapi lama-lama aku tak bisa bertahan juga. Mendengar nada-nada bahagia yang jelas terlontar begitu saja oleh kedua orangtua Daffa dan Denna. Aku mengeluarkan beberapa lembar uang dan meninggalkan rumah makan. Entah kenapa, selera makanku menguap begitu saja.
            Mungkin memang benar. Daffa diciptakan bukan untukku. Dan aku diciptakan bukan untuk memiliki Daffa. Bilbi benar. “Ini cuma bikin aku terluka”.

-----

September’18 pantai Losari, Makassar
Hanya aku dan DSLR kesayanganku. Ya, aku sengaja mengambil cuti beberapa bulan hanya berdua dengan DSLR-ku. Bilbi yang mengurusi seluruh keperluanku selama berlibur. Mulai dari baju, tiket, sampai kendaraan. Tapi sayangnya dia tidak bisa ikut. Bulan depan dia akan menikah dengan Adrian. Mungkin kedengarannya agak konyol karena mereka baru saja saling mengenal. Tapi, ternyata takdir berkata lain. Adrian adalah anak sahabat mamanya Bilbi. Jadi tak perlu waktu lama untuk mereka menentukan. Dan akhirnya, here i am! Sendirian menikmati libur panjang.
            Aku mengeluarkan kertas putih tulang dari saku jaketku. Aku baru saja menerimanya dua hari yang lalu. Di bagian depannya diukir dengan tinta emas. Tertulis : “Daffa & Denna”. Aku tersenyum sekilas. Semoga kamu bahagia, Daffa. Ku buka halaman pertama undangan pernikahan itu. Disana ada foto Daffa dan Denna. Memakai gaun pengantin putih, Denna terlihat cantik. Daffa berdiri di sebelahnya dengan gaya cueknya. Andaikan aku yang ada disana. Berdiri di samping Daffa. Memakai gaun pengantin. Mungkin sekarang aku sedang duduk di sebelah Daffa. Mendengarnya mengucap ijab kabul. Ah.. untuk apa aku berangan-angan terlalu jauh? Daffa sekarang sudah resmi menjadi suami orang. Rasanya tak pantas aku menyimpan keinginan seperti itu. Hanya akan membuatku terluka. Kuremas kertas undangan itu sampai membentuk bola nyaris sempurna. Kemudian ku lempar sejauh mungkin ke laut lepas. Berharap rasa sakit hati dan perasaan yang tak terbalas juga ikut berenang dan akhirnya hilang ditelan laut.
            “kok undangannya dibuang?”
            “percuma. Toh, aku juga nggak datang kan? Buat apa disimpan?” jawabku tanpa menoleh kepada si penanya.
            “iya juga sih. Buat apa nyimpen undangan itu. Acaranya aja dibatalin,”
            “sok tau banget! Emangnya kamu siapanya dia? Emangnya kamu tau siapa yang menikah? Emangnya kamu dateng ke acaranya? Dan emangnya kamu siapa pake dateng kesini, dan sok tau gitu ke aku?” kataku ketus. Orang ini benar-benar menyebalkan. Tapi aku enggan menampakkan wajahku yang kini sedang dibanjiri air mata.
            “aku orang yang lagi ada di fikiranmu!”
            “ha-ha! Lucu sekali!” aku sengaja membuat tawaku terdengar mengejek. Isyarat agar the stranger ini diam! Tidak mungkin sekali Daffa saat ini berada disini dan bicara denganku. Dia kan sedang menikah.
            “aku nggak bisa menikah sama orang yang nggak aku cintai, Na. Aku nggak bisa menikah sama orang selain kamu!”
            Aku memutar badan 180° menghadap ke arah si ‘stranger’. “Daffa?” panggilku dengan suara yang hampir tak terdengar. Smentara yang dipanggil hanya diam dan tersenyum. Oh my God! Dia di sini! Di sini! Di depanku tepat. Tak ada baju pengantin. Dan tanpa.. Denna. Apa aku sedang bermimpi?
            Aku mengusap-usap mataku yang basah berkali-kali. Berharap pandanganku tak sedang kabur karena air mata. Tapi, sejak kapan baju pengantin berubah gaya jadi kaos putih dan celana jeans ¾? Sepatu formal mengkilap jadi sandal?
            Daffa tertawa. Tawa khas yang hangat dan ramah. Dia berjalan mendekat dan menarikku dalam dekapannya. Jemarinya menyusup diantara helai-helai rambutku yang kubiarkan tergerai dan tertiup angin pantai.
            “just be near me, Yuna. Don’t go away! Don’t leave me alone again. If you do it, i’ll die!”
            “i never do that, Daffa. Don’t you see? I’ve been so long stand here, just waiting for you, for your coming to me,”

Can't you see that I'm the one who understands you?
Been here all along, so why can't you see?
You belong with me

Taylor Swift – You Belong with Me

Komentar